Tampilkan postingan dengan label peran mahasiswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label peran mahasiswa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Desember 2008

MEMAHAMI KEDUDUKAN DAN PERAN INTELEKTUAL MUDA DALAM DINAMIKA SOSIAL KEMASYARAKATAN

“Pada dasarnya, semua orang punya potensi menjadi intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial”
(Antonio Gramsci)


Sejarah menunjukkan, bahwa setiap peristiwa-peristiwa besar di dunia seperti revolusi, restorasi dan reformasi, kenyataannya telah aktor-aktor penting didalamnya. Adalah Sukarno, sewaktu muda (mahasiswa) sudah mulai aktif terlibat secara langsung dalam pergerakan nasional. Indonesia merdeka! Itulah cita-cita seluruh anak negeri selama mengalami kepahitan ratusan tahun dibawah cengkeraman penguasa Kolonial. Bagi para pemuda, pelajar dan mahasiswa masa kolonialisme, mengabdikan seluruh hidupnya bagi kemerdekaan rakyat nasional adalah sebuah tuntutan sejarah yang harus mereka jalani.

Bagi seorang Sukarno dan kaum intelektual lainnya seperti Hatta, Syahrir membentuk Studie Club , merupakan praktek nyata guna membumikan gagasan-gagasan intelektual ke ranah perjuangan. Hal yang sama, sebelumnya juga pernah dilakukan Pergerakan Tmana Siswa dibawah pimpinan Ki Hajar Dewantoro pada th 1921. Tujuan gerakan ini yakni, mengembangkan suatu sistem pendidikan yang mendasar pada suatu sintesa realistis dari kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Barat yang kelak bisa mendidik pemuda Indonesia untuk berdikari dan mengembangkan dalam diri mereka menyelesaikan masalah-masalah praktis yang mereka hadapi . Dengan demikian, cita-cita luhur Pergerakan Taman Siswa diproyeksikan dalam membentuk karakter intelektual muda yang peka terhadap realitas sosial kemasyarakatan.

Baik Studie Club dan Taman Siswa hanya merupakan sebagian kecil wadah perjuangan kaum-kaum cendekiawan, namun cukup mengguncangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Beberapa pemimpin-pemimpin seringkali harus diganjar dengan hukuman penjara maupun pengasingan, karena gagasan-gagasan nasionalismedianggap mengganggu ketertiban umum. Hatta dan Syahrir dibuang ke kamp konsentrasi Tanah Merah Boven Digul pulau Papua, sedangkan Sukarno di Ende pulau Flores, sebab Belanda khawatir kalau pimpinan-pimpinan nasional ini tidak segera dihentikan gerakannya akan mengancam kekuasaan. Masa-masa pengasingan adalah masa sulit, namun tidak demikian bagi Sukarno, selama masa pengasingan ia dekat dengan para nelayan dan petani di Endeh. Sukarno menghimpun para petani kelapa dan nelayan Endeh yang buta huruf dalam kelompok seniman Teater Rakyat. Dimanapun Belanda memberikan hukuman pengasingan, disitulah pimpinan-pimpinan nasional berkarya dengan mendekatkan diri kepada rakyat.

Layaknya sebuah cerita usang, peran sejarah pimpinan-pimpinan nasional yang melahirkan tentang gagasan-gagasan dibidang pendidikan, kebudayaan dan nilai-nilai kebangsaan terenggut pusaran arus modernitas. Bahkan, pemerintahan sekarang telah mereduksi catatan-catatan sejarahnya sendiri. Dunia kampus seolah-olah menjadi lumpuh, ketika dihadapkan dengan arus mekanisme pasar.

Intelektual Dalam Arus Liberalisme

Ketimpangan sistem pendidikan sudah menjadi persoalan sebelum bangsa Indonesia merdeka. Keruntuhan Sistem Tanam Paksa (STP) pada th 1870 ditandai dengan arus liberalisme di Hindia Belanda, seiring itu pula Undang-Undang Pokok Agraria mengalami perubahan. Pihak swasta berhak mengelola, memanfaatkan dan menguasai sumbere-sumber ekonopmi yang sebagian berupa lahan pertanian dan perkebunan sebebas-bebasnya. Pada periode ini investasi asing mulai diberi keleluasaan di Hindia Belanda.
Sektor pendidikan sangat dibutuhkan, para pengusaha membutuhkan tenaga-tenaga administratif dalam mengembangkan usaha. Bersamaan dengan itu pula Undang-Undang tentang pendidikan yang pertama kali, disahkan pada th 1871 (endiq pratama; 1999). Sekolah dasar hingga sekolah tinggi mulai dibuka, para Bumi Putra memperolah kesempatan mengenyam pendidikan. Kepentingan pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah ini semata-mata hanya untuk mencetak intelektual-intelektual yang siap dilempar ke pasar tenaga kerja. Praktis tenaga-tenaga terdidik Bumi Putra hanya untuk mencukupi stock pegawai pemerintahan Belandadan karyawan perusahaan-perusahaan milik swasta. Namun sekolah ini hanya diperuntukkan para anak-anak bangsawan atau klas priyayi juga sedikit anak-anak keturunan Belanda, jadi anak petani dan rakyat jelata tidak diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan ini.

Krisis di level bawah mulai terjadi, petani penggarap dan buruh tani mulai tidak mampu membayar pajak berupa uang kepada pemerintah kolonial. Di lain pihak akumulasi keuntungan para pengusaha Belanda semakin berlipat ganda. Banyak para petani yang meninggalkan lahannya menjadi buruh-buruh di perusahaan Belanda, sedangkan para buruh petani yang tetap melunasi pajak akhirnya terjebak bujuk rayu rentenir, justru hal ini menambah penderitaan petani. Kondisi ini melahirkan protes di kalangan petani. Di Kerajaan Mataram misalnya, terdapat gerakan protes kaum tani yang disebut pepe (berjemur diri). Mereka datang berduyun-duyun ke alun-alun depan keraton. Gerakan ini sebenarnya merupakan demonstrasi massa untuk memprotes suatu keadaan dan mohon keputusan dari raja sendiri. Rakyat pedesaan melakukan gerakan ini, menurut Emmanuel Subangun, karena keraton Jawa tidak mempunyai jaringan birokrasi yang memungkinkan pusat kekuasaan menangkap aspirasi dan masalah rakyat pedesaan .

Situasi krisis yang disebabkan kebobrokan sistem pemerintahan Hindia Belanda melahirkan semangat nasionalisme di kalangan intelektual Bumi Putra. Pada tahun 1909 seorang jebolan OSVIA (sekolah pamong praja) bernama Tirtoadisoeryo, meninggalkan pekerjaannya dalam pemerintahan Hindia Belanda lalu menjadi pemimpin redaksi harian berbahasa Melayu, Medan Priyayi, sebuah harian yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Lalu di Jakarta Tirtoadisoeryo mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI), agar pedagang-pedagang pribumi mampu melawan pedagang-pedagang Tionghoa serta mendorong rakyat Hindia mampu beremansipasi dalam segi ekonomi (Imam Sujono: 2006). Walaupun sebagai keturunan klas priyayi, Tirtoadisoeryo dengan menggunakan Medan Priyayi mampu menelanjangi kebobrokan rezim kolonial. Peran media waktu itu ternyata mampu menggugah golongan terpelajar Bumi Putra lainnya, hingga pada tahun 1909 muncul organisasi-organisasi modern seperti Boedi Oetomo yang dipelopori Soetomo seorang mahasiswa STOVIA (sekolah tinggi kedokteran).
Ada dua hal yang dapat kita simpulkan mengenai catatan diatas; pertama, pemerintah kolonial medirikan sekolah yang diperuntukkan warga pribumi hanya sebagai bentuk kompromi (politik etis) karena telah mengeksploitasi sumber-sumber agraria karena liberalisme ekonomi yang dipraktekkan pemerintah Hindia. Pendidikan juga bagian dari investasi, selain untuk mencetak tenaga-tenaga administrasi di perusahaan-perusahaan dan pemerintahan, rata-rata mereka yang telah memperoleh akses terhadap pendidikan yakni klas atas seperti priyayi, bangsawan dan keturunan Belanda. Yang kedua, pendidikan kolonial kenyataannya telah melahirkan pemikir-pemikir pergerakan nasional. Penderitaan rakyat dan kekejaman kolonialisme mampu mendorong kepekaan intelektual kaum terpelajar, selanjutnya mendorong munculnya konsep nasionalisme sebagai pilar perjuangan kemerdekaan.

Kondisi pendidikan sekarang sebenarnya tidak jauh beda, biaya kuliah mahal akhirnya menelantarkan akses si miskin terhadap sekolah yang layak. Privatisasi kampus, menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional dan memburuknya sistem pelayanan pendidikan negeri adalah fenomena pergerakan liberalisme dalam bidang pendidikan. Mampukah dunia pendidikan sekarang memproduksi kaum-kaum intelektual yang peka terhadap problem sosial?

Mahasiswa Bagaimana Seharusnya

Sejak zaman kolonial hingga terbentuknya republik ini, sejarah intelektual Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konflik penguasaan sumber daya alam yang ekonomis (Bambang Prakoso; 2008). Rezim kolonial selama berabad-abad menguras sumber-sumber kekayaan alam, selain itu kolonialisme juga memeras tenaga rakyat dengan kerja paksa. Warga negara telah mengabdikan tenaganya dalam waktu yang sangat lama untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran tertentu: pemerasan tenaga kerja, hukuman fisik, pemberian gaji yang tidak adil, hak berpolitik yang dibatasi (Frantz Fanon: 2000).

Peran intelektual yang demikian mengukuhkan legitimasi atas bangsanya selama penindasan berlangsung. Label kaum intelektual muda selalu dilekatkan kepada mereka yang menanamkan dirinya mahasiswa. Lalu mengapa demikian? Rasa-rasanya sebutan mahasiswa adalah kaum intelektual masih asing banget di telinga, apalagi untuk dipahami hakekat sebutan tersebut. kenyataannya berbagai kalangan menyematkan identitas mahasiswa identik dengan kaum intelektual muda. Padahal yang bisa dipahami saat ini ketika mulai mendaftarkan diri di universitas, sudah ada pengertian sebelumnya. Melalui orang tua, saudara, teman dan handai taulan yang lain memberikan petuah, apa tugas-tugas utama selama di bangku kuliah dan apa yang meski kita gapai setelah lulus nanti. Dan jawabannya adalah belajar dengan tekun sehingga dapat lulus cepat dengan Indeks Prestasi dimungkinkan bisa mendapat pekerjaan yang layak. Pada dasarnya jawaban tersebut benar adanya, bahkan umumnya semua mahasiswa meng-idealisasi-kan cita-cita seperti itu.

Kenyataannya sungguh di luar yang diperkirakan, dari data tahun 2006 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 70 % dari total angkatan kerja sebesar 110 juta orang. Disini 50 % jumlah penganggur mereka yang termasuk kategori angkatan muda (17-30 tahun), dari angka ini sudah termasuk didalamnya mahasiswa.

Dalam peristiwa revolusi nasional di Aljazair, Fanon menjelaskan kebangkitan kaum intelektual pribumi yang bertekad melawan kebohongan kolonial, berjuang di daratan diseluruh benua . Dalam membaca kembali mandat gerakan (Jurnal benang merah), Bambang memberi pertanyaan simpul persoalan negeri ini. Berapa banyak darah rakyat yang tertumpah akibat penjajahan modal dan penjajahan politik kaum kolonial asing? Disinilah peran sejarah mahasiswa akan diusik kembali pada setiap peradaban, saat ini dan yang akan datang.

(Fx. Sugiyanto, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Surakarta Santo Paulus periode 2007-2008)

Sabtu, 08 November 2008

PRAKTEK IMAN KATOLIK DALAM HIDUP KESEHARIAN: belajar dari pengalaman Teologi Pembebasan

Dalam praktek keseharian hidup beriman, sering kita memberikan porsi lebih besar terhadap setiap upaya penghayatan iman Katolik yang kita yakini. Berbagai acara pendalaman iman, Ekaristi, persekutuan doa, hingga ibadat lingkungan sering kita ikuti guna lebih meningkatkan kadar keimanan kita akan Allah. Bahkan terkadang kita tidak sempat memikirkan satu hal yang tak kalah pentingnya, yakni perwujudan akan iman Katolik yang sebenarnya juga menjadi tanggungjawab kita.


Perwujudan iman haruslah tidak terlepas dari kondisi masya
rakat yang saat ini tengah terjadi. Ini diperlukan guna mewujudkan iman Kristiani secara kontekstual.


Ada baiknya jika kita belajar dari praktek Teologi Pembebasan di Amerika Latin
guna memberikan sedikit gambaran salah satu dari sekian banyak contoh praktek perwujudan iman Kristiani secara kontekstual.


Situasi masyarakat di Amerika Latin mengalami b
anyak kemunduran sejak diberlakukannya industrialisasi dibawah arahan modal multinasional mulai tahun 1950-an. Kemiskinan menjadi hal yang akrab dalam kehidupan keseharian. Ketergantungan negara terhadap negara donor kian tinggi, sementara di tingkat masyarakat pertentangan sosial kian dalam. Urbanisasi tinggi memicu pertumbuhan kota-kota besar sehingga menciptakan pemusatan kaum buruh baru dan membengkakkan jumlah kaum miskin kota.


Dibawah penindasan penguasa diktator serta pengaruh Revolusi Kuba 1959, upaya para petugas awam Gereja (dan beberapa anggota lembaga kepastoran) yang aktif di kalangan mahasiswa, kelompok kerukunan rumah tangga, serikat buruh perkotaan dan pedesaan, serta kelompok masyarakat basis mencoba membangun perlawanan dengan tujuan akhir mengubah kehidupan sosial ke arah yang lebih baik.



Mereka menggunakan berbagai cara, mulai dari mempengaruhi para Uskup sampai melibatkan diri secara aktif dalam gerakan rakyat jelata, termasuk perang gerilya. Sekitar 157 ribu orang penganut beberapa tarekat seperti Yesuit, Dominikan, Fransiskan, Maryknoll, Capuchin, dan beberapa tarekat perempuan bergabung dalam gerakan orang Katolik awam seperti Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Katolik, Aksi Katolik, gerakan pendidikan masyarakat akar rumput (Brazilia), gerakan menuntut pembagian tanah (Nikaragua), Federasi Petani Kristen (El Salvador), dan gerakan masyarakat basis lainnya. Bahkan pilihan gerakan yang lebih radikal pun dilakukan dengan mendukung kaum gerilyawan, seperti kelompok gerilya Aksi Pembebasan Nasional (Brazil), Tentara Pembebasan Nasional/ELN (Kolombia), dan Front Sandinista untuk Pembebasan Nasional/FSLN (Nikaragua).



Sementara kondisi internal Gereja yang mengalami perubahan, diantaranya perkembangan aliran
teologis baru pasca Perang Dunia II, perkembangan bentuk baru ajaran sosial Kristen (romo kaum buruh, dll), terbukanya Gereja terhadap kajian filsafat dan ilmu sosial modern, sampai adanya Konsili Vatikan II (1962-1965) serta Konferensi Medellin (1968) di Kolombia semakin membuat Gereja “tidak berdaya” terhadap suatu kewajiban untuk berpihak kepada korban penindasan dan ketidakadilan.



Walaupun mendapat tekanan keras dari beberapa kalangan internal Gereja, namun upaya Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves Carlos Mesters, Hugo Assmann, Leonardo Boff, Frei Betto (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Juan Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay), dan ratusan ribu rohaniwan lain beserta umat Katolik lainnya tak kunjung padam. Mereka terus berusaha membangun apa yang mereka istilahkan “Gereja Orang Miskin”, yakni suatu kondisi dimana Gereja Katolik berpihak pada orang miskin dan tertindas, bukan sebaliknya menghamba kepada penguasa.



Bahkan terbunuhnya Romo Camillo Torres dan Romo Gaspar Garcia Laviana dalam perang gerilya di Kolombia dan Nikaragua, diperkosa dan dibunuhnya suster tarekat Mayknoll, hingga tertembaknya Mgr. Oscar Romero karena khotbahnya yang mengutuk penguasa militer serta menyerukan pembangkangan bagi tentara El Salvador ternyata tidak menyurutkan semangat mereka yang berniat menafsirkan ulang iman Kristiani sekaligus mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Dari sedikit cerita diatas, tidak dapat disangkal lagi bahwa telah tiba saatnya kini kita sebagai mahasiswa Katolik Indonesia turut serta ambil bagian secara aktif guna mewujudkan perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Semangat Teologi Pembebasan di Amerika Latin kiranya dapat membantu kita untuk terus memelihara rasa keberpihakan kita pada kaum lemah, miskin, tertindas yang disingkirkan oleh tatanan sosial, ekonomi, politik yang tidak adil. Ilmu pengetahuan yang kita miliki haruslah kita abdikan guna mewujudkan kesejahteraan untuk masyarakat luas. Seperti halnya Yesus yang juga berjuang melawan berbagai penindasan yang terjadi di zamannya, kiranya semangat itulah yang mendasari langkah kita bersama mewujudkan iman Kristiani yang benar-benar nyata dan relevan dengan situasi sekarang.


Strategi atau metode yang kita pilih tentu haruslah didasarkan pada kondisi masyarakat saat ini. Yang penting adalah persatuan dan kebersamaan yang selalu harus kita jaga dan dikembangkan, karena hal itu akan semakin memperkuat setiap usaha yang kita lakukan.


Gustavo Gutierrez (1973) mengartikan pembebasan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik; pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia; pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sehingga Gutierrez merumuskan Teologi Pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda. Sedangkan Leonardo Boff (1974) menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindas ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup politik, ekonomi dan kulturalnya (http: //lulukpr.multiply.com/)


Pemahaman iman Kristini memang penting, namun itu semua belum cukup. Bagaimana iman Kristiani yang kita yakini mampu mendasari usaha kita dalam mendorong terjadinya perubahan sosial tak kalah pentingnya. Kondisi Amerika Latin pada masa Teologi Pembebasan tak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Saat inilah iman Kristiani kita tengah diuji. Mampukah kita, sebagai mahasiswa Katolik, bersama dengan kelompok masyarakat tertindas lainnya mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini?. Bukankah hal tersebut adalah cita-cita kita semua?.


Beberapa kelompok umat Katolik telah berusaha mewujudkannya. Pun halnya dengan Rm. Y. B. Mangunwijaya dengan keterlibatannya dalam berbagai persoalan sosial. Sampai kapan mahasiswa Katolik, baik secara individu maupun kelompok, terus berdiam diri sementara tuntutan akan perubahan kian bergema? Salam Damai dalam Kasih Yesus Kristus. Berkah Dalem. (Agustinus Ariawan).