Jumat, 01 Mei 2009

PMKRI.COM

INTELEKTUAL PEMBANGUN REZIM

Menjelang akhir kekuasaannya Soeharto berpidato, “negeri ini tidak bisa dipimpin oleh satu golongan saja”. Sejak awal ia sadar bahwa Orde Baru tidak mungkin bertahan mengandalkan kekuatan militer belaka. Dalam 32 tahun kekuasaannya ia bersekutu dan merekrut ribuan intelektual yang turut membangun, mempertahankan dan memelihara rezim tersebut. Pihak militer sendiri menganggap kaum intelektual ini sebagai kelompok strategis yang “berpengaruh besar terhadap kesadaran masyarakat dan menguasai aspek teknis dari pembangunan”. Sebaliknya sebagian intelektual juga menyambut kehadiran “perwira intelektual” yang berperan penting menjaga stabilitas dan mendorong modernisasi, seperti yang ditulis Rosihan Anwar dalam Peranan Intellegentsia Militer dan Pendidikan dalam Proses Modernisasi.


Mayoritas menteri anggota kabinet-kabinet pembangunan sejak Soeharto berkuasa adalah orang terpelajar yang mendapat gelar dari berbagai universitas di dalam maupun luar negeri. Mereka didukung oleh staf ahli dan intelektual lain mengerjakan proyek penelitian serta lulusan perguruan tinggi lainnya. Di samping itu ada sejumlah perwira militer yang menyesaki birokrasi sipil dari pusat sampai daerah, lulusan Seskoad atau akademi militer di luar negeri.


Pertemuan intelektual dan militer yang berkuasa sejak 1965 dimulai sekitar sepuluh tahun sebelumnya. Pengaruh Belanda yang mulai melemah sejak penyerahan kedaulatan 1949 pelan-pelan diganti Amerika Serikat yang membuka berbagai program untuk mengirim tenaga pengajar ke Indonesia dan sebaliknya merekrut sarjana Indonesia melanjutkan studinya di sana. USAID, Yayasan Ford dan Rockefeller berperan penting menyediakan dana program yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pengajar universitas sampai dinas intelejen. Tahun 1957 misalnya dicetuskan proyek senilai $150 juta yang melibatkan Henry Kissinger dan William Bundy dari CIA yang bertujuan “merancang ideologi bagi para intelektual di belahan dunia lain mulai dari bidang sosial, penciptaan seni sampai metodologi ilmiah”.


Di Indonesia salah satu tokoh pentingnya adalah Guy J. Parker, yang berhubungan dekat dengan perwira militer dan elite politik Jakarta. Bersama elite militer Indonesia ia merancang program pendidikan di sekolah staf komando (kemudian menjadi Seskoad) untuk melatih para perwira muda agar memilih pengetahuan cukup di bidang lain seperti ekonomi, sosial-politik dan komunikasi di samping strategi militer. Di kalangan sipil Bruce Glassburner memimpin sebuah tim dari Berkeley untuk menandingi pengaruh Belanda dan pemikiran Soekarno yang semakin dominan. Mereka merekrut sarjana dari berbagai universitas terkemuka untuk belajar di AS dan sebaliknya mengirim tenaga pengajar di bidang administrasi bisnis, perencanaan ekonomi dan statistik.


Menjelang 1965 peran mereka semakin penting. Dalam sebuah memorandum Februari tahun itu, pejabat CIA melaporkan perkembangan operasi rahasia yang antara lain bertujuan “menyiapkan pengganti pemerinta Soekarno yang anti-komunis”, melibatkan perwira militer, kalangan intelektual sampai seniman. Operasi yang sukses tentunya dan mantan dubes Marshal Green pun menilai proyek pendidikan dan operasi itu sebagai “investasi kita yang paling berharga bagi masa depan Indonesia”. Dengan bangga ia melaporkan bahwa para pengambil keputusan terpenting di bidang ekonomi adalah lulusan Harvard dan Berkeley, sementara perwira militer yang terlibat kup dan kemudian tampil memimpin adalah lulusan akademi militer AS.


Kumpulan laporan rahasia yang baru-baru ini diumumkan untuk ditarik kembali oleh pemerintah AS tentu tidak menyebutkan penyingkiran ribuan intelektual kiri pada saat bersamaan. Sebagian mereka dibunuh atau hilang tanpa bekas, sementara lainnya ditangkap atau dibuang atau tidak bisa kembali dari luar negeri. “Ini adalah periode kehilangan yang jelas merugikan perkembangan dan kemajuan ilmu”, kata filsuf Karlina Leksono-Supelli.


Disingkirkannya kekuatan kiri dan dukungan negara industri maju memberi jalan bagi tumbuhnya persekutuan intelektual-politisi-militer yang ditegaskan di hadapan publik dalam Seminar Angkatan Darat pada Agustus 1966. dalam seminar ini mereka merumuskan landasan bagi rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Orde Baru.


Memeluk Pasar Bebas


Persekutuan paling kuat terjadi di bidang ekonomi, yang melibatkan ahli ekonomi Indonesia, pemilik modal, bankir, militer dan politisi dari dalam maupun luar negeri serta lembaga keuangan internasional. Tujuan resminya adalah “memulihkan ekonomi Indonesia”, yang dalam kenyataannya berarti mengubah haluan ekonomi Indonesia memeluk kapitalisme pasar bebas. Media massa menyokongnya sebagai pilihan rasional di tengah kemerosotan ekonomi dan kesulitan hidup yang makin menjadi.


Saat Jenderal Soeharto menguasai pemerintahan sepenuhnya tahun 197 para ahli ini mulai menduduki posisi penting dalam kabinet. Di Departemen Perdagangan tampil Sumitro Djojohadikusumo (Rotterdam 1939), dan Subroto (Harvard 1964) sebagai wakilnya, sementara Bappenas dipimpin Widjojo Nitisastro (Berkeley 1961) dan Emil Salim (Berkeley 1964) sebagai wakilnya. Mohammad Sadli (MIT 1956) menjadi ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing sementara Barli Harlim (Berkeley 1969) duduk di Departemen Industri. Dominasi lulusan Universitas Berkeley membuat mereka kerap disebut “Mafia Berkeley”, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh jurnal Ramparts di AS.


Dalam program pemulihan ekonomi itu mereka sebenarnya lebih memainkan peran public relations guna menarik modal asing masuk. Bulan November 1967 mereka menghadiri konperesi di Jenewa yang diprakarsai oleh James Linen, pimpinan Times Inc. untuk memperkenalkan program Orde Baru di hadapan wakil-wakil perusahaan multinasional raksasa. Ahli sosiologi Selo Soemardjan yang menulis laporan khusus pertemuan itu mengatakan bahwa delegasi Indonesia berangkat tanpa persiapan dan pengalaman. Satu-satunya sasaran adalah menarik minat para investor untuk mengalirkan modalnya ke Indonesia dan menerima segala persyaratan yang ditetapkan oleh mereka.


Selama tahun-tahun pertama Orde Baru hampir semua aturan dan kebijakan ekonomi sesungguhnya dibuatkan rancangannya oleh IMF, Bank Dunia, USAID atau konsultan asing membanjiri Jakarta setelah Soekarno disingkirkan. Dalam perjanjian dengan Freport McMoran yang sampai hari ini bercokol di Papua, ekonom Mohammad Sadli mengaku hanya minta ditunjukkan kolom-kolom yang harus ditandatanganinya. “Bagi kami yang penting adalah mendatangkan modal ke Indonesia,” katanya seperti dikutip Jeffrey Winters dalam Power in Motion.


Di masa selanjutnya persekutuan ahli ekonomi, kalangan bisnis dan lembaga keuangan internasional semakin kuat. Pendidikan tinggi, khususnya fakultas ekonomi di universitas terkemuka dikuasai oleh pendukung pasar bebas yang menjadikannya sekolah khusus calon birokrat, staf ahli atau manajer. Pemerintah AS membantu dengan dana dan tenaga teknis. Tidak kurang Walt. W Rostow – yang sering dikutip Jenderal Soeharto dalam pidatonya – turun tangan memberikan penilaian dan nasehat. Dalam sebuah pertemuan bulan Juli 1967 ia mengatakan, “Indonesia seharusnya membuat lembaga yang mendidik pengusaha dan manajer industri seperti Harvard Business School”.


Sejumlah “perwira intelektual” lulusan Seskoad dan akademi militer di luar negeri, secara bertahap mereka mulai mengisi jabatan-jabatan yang semula dikendalikan oleh elite sipil. Sejak 1970-an bermunculan tokoh-tokoh seperti Mayjen Umar Wirahadikusumah di Badan Pemeriksa Keuangan, Kolonel Sutjipto dan Mayjen Muskita di Departemen Perdagangan, Kolonel Sumudarsono dan Mayjen Tirtajasa di Departemen Perindustrian serta Brigjen Piet Harjono dan Brigjen Tahir di Departemen Keuangan.


Di tahun 1980-an ketika rezim Orde Baru mulai dilanda kritik gencar karena kebijakan pembangunannya menyengsarakan orang banyak, intellectual establishment ini menjadi pelindung utamanya. Krisis finansial 1997 dan tumpukan hutang warisan Orde Baru tidak mengubah orientasi kalangan ahli ini yang tetap saja menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.


Ilmu Rekayasa Sosial-Politik


Sejalan dengan orientasi pertumbuhan dan pasar di bidang ekonomi, para ahli ilmu sosial merancang strategi modernisasi. Masalah terbesar di Indonesia menurut mereka adalah tetap bercokolnya nilai-nilai tradisional yang menghambat modernisasi. Karena itu diperlukan program rekayasa sosial (social engineering) yang menantang nilai-nilai itu, mengintegrasikan masyarakat pedesaan khususnya dengan ekonomi pasar, dan memperbesar peran negara serta kaum elite untuk menentukan apa yang menjadi prioritas bagi orang banyak.


Politik massa mengambang yang menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan penting – termasuk yang menyangkut hidup mereka sendiri – adalah bagian dari strategi modernisasi ini. Dalam pandangan para ahli, masyarakat Indonesia umumnya masih terbelakang sehingga diperlukan elite yang dapat menentukan arah, merumuskan konsep dan melaksanakan kebijakan. Garis pemikiran ini sesuai dengan kepentingan militer yang megutamakan stabilitas dan kaum modal yang memerlukan kepastian bagi penanaman modalnya.


Ada bermacam peran yang dimainkan oleh kalangan ilmuwa sosial di sini. Sebagian memilih terlibat dalam operasi ketertiban yang dilancarkan militer sjak Oktober 1965. sejumlah pengajar universitas dan mahasiswa direkrut sebagai interogator tahanan politik, sementara ahli psikologi yang bekerjasama dengan Universitas Leiden membuat klasifikasi para tahanan yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya. Ahli komunikasi Alwi Dahlan dan Hidayat Mukmin sementara itu terlibat dalam operasi penerangan Kopkamtib akhir 1968 yang antara lain bertugas,”menyebarluaskan pengertian di kalangan masyarakat mengenai bahaya laten dari sisa-sisa G-30-S/PKI maupun golongan ekstrem dan subversif lainnya”. Di masa Alwi Dahlan menjadi ketua BP-7 yang melahirkan program indoktrinasi negara bagi segala lapisan masyarakat.


Sebagian lain membentuk kelompok studi atau think-tank seperti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga yang didirikan antara lain oleh Ali moertopo, Soedjono Hoemardani, Sofyan dan Jusuf Wanandi, serta Harry Tjan Silalahi ini bekerjasama erat dengan aparat Opsus yang sangat berpengaruh awal 1970-an. Tahun 1971 mereka berperan besar bagi kemenangan Golkar dalam pemilihan umum, dengan menyingkirkan kekuatan politik yang potensial menjadi penghalang. Lembaga ini juga menghasilkan kajian mengenai orientasi kebijakan pembangunan, seperti 25 Tahun Akselerasi Modernisasi dan Pembangunan yang ditulis Ali Moertopo tahun 1973. Beberapa diantaranya juga aktif dalam bisnis seperti Sofyan Wanandi dan soedjono Hoemardani yang mengurus beberapa kontrak pemerintah dengan perusahaan multinasional dari Jepang.


Di samping intelektual yang terlibat langsung dalam aksi politik dan kadang operasi intelejen ini, ada kalangan yang lebih moderat seperti Selo Soemardjan, Harsja Bachtiar, Astrid Susanto, Mattulada dan Miriam Budiardjo yang menguasai program-program studi ilmu sosial di beberapa universitas terkemuka. Dibandingkan rekan-rekannya di atas kegiatan mereka lebih “akademik”, termasuk mencari landasan ilmiah bagi konsep-konsep yang dicetuskan penguasa Orde Baru seperti “integrasi nasional” dan “manusia Pancasila”. Tapi mengikuti kerangka social engineering yang sama mereka cenderung berbicara tentang apa yang seharusnya (das solen) ketimbang menggambarkan apa yang sebenarnya ada.


Orientasi sosialis yang didapat ilmuwan dari hubungan erat dengan Tiongkok dan Uni Soviet sebelum 1965 dikikis secara sistematis dari dunia pendidikan dengan memperkenalkan karya-karya Shmuel Eisenstadt, Lucien Pye, Gabriel Almond dan Samuel Huntington yang berbicara tentang pentingnya negara dunia ketiga mengikuti jalur modernisasi kapitalis. Dengan bantuan teknis serta dana dari Yayasan Ford, Rockefeller dan USAID mereka juga mengembangkan pergaulan internasional yang melibatkan ahli-ahli seperti Cliffort Geertz, Karl Jackson dan Robert Jay.


Revolusi Hijau dan Transmigrasi


Masalah besar yang dihadapi Orde Baru untuk memacu modernisasi adalah pangan dan kepadatan penduduk. Sampai tahun 1960-an Indonesia masih menjadi salah satu importir beras terbesar. Ahli ekonomi dan ilmu sosial memahaminya sebagai akibat keterbelakngan teknologi dan laju pertambahan penduduk yang pesat. Untuk mengatasi masalah pertama pemerintah mengundang ahli pertanian dari berbagai negara dan sebaliknya mengirim tenaga dari Indonesia untuk mempelajari modernisasi sektor pertanian yang dikenal dengan sebutan “revolusi hijau”.


Salah satu lembaga terpenting adalah International Rice Research Institute (IRRI) yang dibentuk di Filipina tahun 1960 dengan dukungan Yayasan Ford dan Rockefeller. Penguasa Orde Baru mulai bekerjasama dengan lembaga ini sejak Desember 1972 untuk mengembangkan alat bioteknologi, intensifikasi pertanian, pengendalian hama dan teknik mekanisasi pertanian. Banyak dari 832 ahli Indonesia lulusan IRRI antara 1963 dan 1997 yang kemudian menduduki jabatan penting dalam pemerintahan seperti Menteri Pertanian Wardjojo, Syarifuddin Karama dan Farid Bahar.


Sejalan dengan doktrin modernisasi, cara pertanian lama ditinggalkan (kadang dengan paksa) dan petani diharuskan menanam bibit keluaran lembaga penelitian itu yang bekerjasama dengan bisnis pertanian. Di satu pihak terjadi peningkatan produktivitas yang mencapai puncaknya pada swasembada pangan 1984, tapi di sisi lain sistem monokultur mengganggu keragaman hayati dan juga cara-cara tradisional yang ternyata lebih efektif untuk menghadapi situasi krisis. Komersialisasi pengetahuan dan teknik pertanian membuat semakin banyak petani yang tersingkir dari tanah mereka karena tidak mampu mengikuti “tuntutan pasar” yang semakin meluas.


Masalah kepadatan penduduk sementara itu diatasi dengan program keluarga berencana dan transmigrasi. Berbekal pinjaman $820 juta dari Bank Dunia, antara 1976 dan 1992 sekitar lima juta jiwa dipindahkan dari Jawa ke berbagai daerah yang menciptakan sederet masalah baru. Ahli kependudukan, antropologi dan ilmu sosial yang terlibat dalam program ini umumnya hanya terarah pada kelayakan tempat dan kerap tidak mempertimbangkan dampak dari perpindahan manusia dalam jumlah begitu besar. Masalahnya menjadi lebih rumit ketika kalangan intelektual ini harus memasukkan kepentingan militer dalam perumusan programnya. Selama 1980-an puluhan ribu orang dikirim ke “daerah-daerah kosong” di sepanjang perbatasan Kalimantan, Papua dan Timor Lorosae. Beberapa diantaranya adalah pensiunan militer yang juga menjalankan fungsi intelejen dan mendukung kegiatan militer lainnya.


Integrasi nasional yang dirumuskan ahli ilmu sosial diterjemahkan menjadi program yang sangat bermasalah. Dalam pertemuan dengan IGGI 1985, Menteri Transmigrasi Martono mengatakan “transmigrasi di Indonesia akan mengintegrasikan semua sukubangsa ke dalam satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.” Semua perbedaan antara kelompok etnik akhirnya akan lenyap dan yang tersisa adalah satu jenis manusia saja. Tujuan itu nampak jelas di Papua dan Timor Lorosae, dimana transmigrasi terjadi bersamaan dengan penghancuran kebudayaan setempat.


Akhir dari Orde?


Persekutuan intelektual dengan rezim tidak selamanya berlangsung mulus. Cukup banyak ilmuwan yang mengajar di perguruan tinggi, menjadi pegawai negeri dan tetap mempertahankan integritasnya walau tak dapat berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Ada juga yang semula mendukung munculnya kekuasaan militer dan ikut merawatnya selama bertahun-tahun kemudian kecewa. Sebagian berteriak lantang menentang otoritarianisme yang makin menjadi, sebagian lain tertunduk diam saat melihat pilihan di luar rezim semakin terbatas saja.


Bayangan tentang Indonesia yang modern, maju dan stabil hancur dalam tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto. Hutang luar negeri $160 milyar lebih, perekonomian yang kecanduan modal dan pinjaman selama puluhan tahun, migrasi penduduk ke kota yang diusir oleh kemiskinan di desa asalnya, maraknya impor beras yang membuat petani produk Revolusi Hijau semakin terpuruk, dan kualitas pendidikan yang amburadul. Dalam sastra keadaannya lebih tragis lagi. Saat ini penulis Indonesia yang dikenal dunia karena karyanya bisa dihitung dengan jari. Salah satu yang terpenting – jika bukan yang terpenting – adalah Pramoedya Ananta Toer,yang menulis dalam tahanan dan karyanya terus dilarang semasa Soeharto berkuasa.


Jatuhnya Soeharto Mei 1998 tidak dengan sendirinya mengubah cara pikir dan tradisi intelektual yang dibangun selama kekuasaannya. Krisis belum berakhir dan arah perubahan masih kabur. Sebagian intelektual yang turut membangun dan memelihara rezim Orde Baru mencari pegangan baru. Di tengah ketidakpastian, banjir uang dari mereka yang turut membangun kediktatoran Orde Baru, mulai dari Bank Dunia sampai USAID, datang kembali. Mereka terkena amnesia politik, seolah lupa apa yang terjadi di masa lalu, merumuskan pikiran lamanya dalam bahasa baru, “reformasi”.


(Disalin utuh dari website Tim Media Kerja Budaya)