Kamis, 10 Desember 2009

Pernyataan Sikap Hari Anti Korupsi Sedunia


PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA

LAWAN KORUPSI SAMPAI MATI !!!

Janji pemerintahan SBY – Boediono untuk memberantas praktek korupsi di Indonesia ternyata hingga saat ini tak kunjung membuahkan hasil yang signifikan. Klaim keberhasilan pengungkapan kasus korupsi yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah seakan tidak berarti karena berbagai kasus mega korupsi yang telah merampok uang rakyat dalam jumlah besar justru dalam pengusutannya berujung pada suatu kondisi ketidakpastian.

Berbelitnya penuntasan kasus Bank Century adalah salah satu bukti nyata tidak seriusnya upaya penuntasan kasus tersebut. Pengungkapan skandal bailout yang telah merampas uang rakyat demi kepentingan segelintir elite senilai 6,7 trilyun itu ternyata hanya berujung pada permainan politik dalam bentuk Pansus Angket di DPR. Sinyalemen tersebut menguat setelah komposisi keanggotaan serta kepemimpinan Pansus justru didominasi oleh partai politik pendukung SBY-Boediono saat Pemilu 2009 lalu.

Adalah sesuatu yang mustahil jika kita masih tetap mengharapkan Pansus akan bekerja efektif menuntaskan kasus Bank Century karena bisa dipastikan kepentingan pragmatis partai-partai tersebutlah yang akan menggagalkan pengusutan skandal Bank Century tersebut sampai ke akarnya. Terlebih jika menilik tidak jelasnya arah penyelidikan serta rekomendasi dan tindak lanjut atas berbagai persoalan yang pernah ditangani Panitia Angket DPR sebelumnya. Alhasil, rakyat Indonesia hanya akan kembali disuguhi dagelan politik tentang pemberantasan mega korupsi di negeri ini.

Penuntasan skandal Bank Century - yang disinyalir banyak pihak telah melibatkan beberapa pejabat - adalah salah satu bentuk nyata keseriusan pemerintahan SBY – Boediono dalam memberantas praktek korupsi dan penyalahgunaan keuangan negara. Hari Anti Korupsi Sedunia ini adalah momentum yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk mengawasi pemerintahan SBY – Boediono agar menepati janji mereka saat kampanye Pemilu untuk menurunkan tingkat korupsi sampai ke titik terendah. Rakyat-lah pemilik sah kekuasaan tertinggi di Indonesia. Dan telah menjadi hak rakyat untuk menarik mandat yang telah dipercayakan kepada SBY – Boediono jika mereka gagal mewujudkan janji-janji kampanye mereka. Janji kampanye itu-lah yang membuat rakyat mempercayai SBY – Boediono sebagai pemimpin selama 5 tahun mendatang.

Tiba saatnya bagi rakyat Indonesia untuk selalu mengawasi setiap perkembangan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga negara. Karena, sekali lagi, rakyat-lah pemilik sah kekuasaan tertinggi di Negara ini. Dan terkait Hari Anti Korupsi Sedunia ini, kami, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Semarang menuntut tanggung jawab pemerintah dan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):

  1. Usut tuntas kasus Bank Century secara transparan
  2. Berantas Mafia Peradilan
  3. Copot dan adili pejabat Negara yang terlibat praktek korupsi
  4. Sita harta koruptor, alokasikan untuk pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Lawan Korupsi Sampai Mati! Ayo, bangun kesadaran rakyat! Wujudkan perubahan! Bersatu demi keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati!

Semarang, 9 Desember 2009


Agustinus Ariawan V. S

Koordinator lapangan

Rabu, 11 November 2009

PERNYATAAN SIKAP TERKAIT KONFLIK KPK vs POLRI

JARINGAN MAHASISWA KATOLIK PEDULI BANGSA

ORANG MUDA KATOLIK (OMK) KOTA SEMARANG, PMKRI, PEMUDA KATOLIK, PRMK, PKKMK

Sekretariat: Jl. Dr. Cipto 238 Semarang CP: Thian (085640767304), Willy (085727187858), Luluk (081326008857)


KORUPSI PENYEBAB KETERPURUKAN BANGSA !

BANGUN KEKUATAN RAKYAT MELAWAN SISTEM KEKUASAAN YANG KORUP !

Salam Pembebasan,

Dagelan politik tentang perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri telah membuka mata jutaan rakyat Indonesia betapa sesungguhnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Mengguritanya praktek korupsi di semua lini kehidupan masyarakat seakan tidak mendapat respon yang memadai dari pemerintah yang berkuasa saat ini. Komitmen pemberantasan korupsi serta klaim keberhasilan menguak sejumlah kasus korupsi di berbagai daerah pun kini tak lagi berarti jika kita menilik berbagai kasus mega korupsi yang tak kunjung terselesaikan hingga saat ini.

Diputarnya rekaman pembicaraan antara pengusaha Anggodo Widjojo dengan beberapa pihak – yang melibatkan pejabat Kepolisian dan Kejaksaan Agung – dalam Sidang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3 November 2009 lalu seakan menyadarkan kita bahwa persekongkolan kaum pemilik modal dengan para pemegang kekuasaan masih tetap berlangsung. Diaturnya berbagai skenario dalam rekaman tersebut menunjukkan sedikitnya dua hal kepada rakyat Indonesia. Pertama, masih berkuasanya pemilik modal dalam mengatur setiap sendi kehidupan masyarakat demi kepentingan mereka. Kedua, masih bercokolnya penguasa yang pro kepada pemilik modal dalam sistem kekuasaan negeri ini. Dalam lingkup yang lebih luas, maka dapat dipastikan bahwa kepentingan rakyat miskin Indonesia tentu tidak menjadi prioritas dalam setiap pengambilan kebijakan atau policy hasil dari kolaborasi antara modal dan kekuasaan tersebut.

Di sisi lain, kisruh di tubuh lembaga penegak hukum tersebut seakan menampilkan pula secara kasat mata kegagalan lembaga negara dalam mencegah serta menangani kejahatan yang extraordinary (luar biasa) ini. Selain menelanjangi wajah asli badan penegak hukum yang terhormat, rakyat Indonesia seakan dipertontonkan akan kegagalan rezim SBY dalam membangun sinergisitas antar lembaga bentukan mereka sendiri. Selain itu, mudahnya intervensi Polri terhadap institusi KPK – melalui penahanan dua pimpinannya – ternyata membuat kita harus berpikir ulang tentang superioritas komisi negara ini dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Disinilah kekuasaan pemerintahan SBY-Boediono diuji. Kemenangan saat Pemilu 2009, yang banyak menuai protes dari berbagai kalangan, seakan menemukan momentum yang tepat untuk membuktikan diri bahwa mereka-lah yang pantas membawa bangsa ini menuju ke arah perubahan yang lebih baik. Dengan dukungan 64 persen kursi di DPR dan tidak adanya partai politik oposisi semestinya membuat SBY-Boediono dan partai koalisinya semakin leluasa dalam menuntaskan berbagai kasus mega korupsi yang telah menyunat uang rakyat Indonesia, seperti kasus korupsi dana BLBI hingga korupsi Bank Century yang telah diindikasikan berbagai kalangan melibatkan banyak pejabat teras negara. Pemerintahan SBY-Boediono harus mampu membuktikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa mereka tidak akan melakukan “tebang pilih” dalam penuntasan kasus kejahatan korupsi, karena jika terbukti gagal maka rakyat Indonesia berhak untuk menarik kembali kepercayaan yang telah diberikan kepada SBY-Boediono dalam Pemilu 2009 lalu.

Korupsi adalah produk dari sistem kekuasaan yang bobrok dan tidak terkontrol. Mereka yang terlibat dalam sistem korup itulah yang harus bertanggungjawab dengan cara membersihkan diri mereka sendiri demi tegaknya kredibilitas mereka di mata rakyat. Namun jika belajar dari kasus KPK vs Polri ini, tampaknya kita sebagai bagian dari rakyat Indonesia juga harus sadar bahwa kita pun tak bisa menyandarkan harapan akan kehidupan yang lebih baik kepada penguasa semata.

Melihat realita diatas, maka kami yang bergabung dalam JARINGAN MAHASISWA KATOLIK PEDULI BANGSA menuntut :

1. Tegakkan supremasi hukum dengan memberantas mafia peradilan, menindak tegas kaum para penyuap pejabat negara, serta membersihkan lembaga penegakan hukum dari pejabat korup yang berpihak kepada pemodal karena mereka-lah yang selama ini mengebiri hak-hak rakyat melalui berbagai praktek korupsi.

2. Junjung tinggi profesionalitas para penegak hukum karena mereka-lah ujung tombak penanganan kasus kejahatan korupsi. Copot dan tindak tegas pejabat yang terbukti bersalah dan mereka yang bertanggungjawab atas kredibilitas institusi.

3. Usut tuntas setiap praktek korupsi dari pusat sampai daerah, mulai dari lingkungan istana kepresidenan, lembaga DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan karena korupsi adalah salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan kemiskinan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

4. Tuntaskan kasus mega korupsi yang hingga kini belum terselesaikan secepatnya, termasuk didalamnya kasus Bank Century yang melibatkan banyak pejabat negara dan telah merampas triliunan uang rakyat yang tidak jelas penanganannya hingga kini.

5. Sita harta koruptor untuk menyubsidi sektor pendidikan, pertanian, kesehatan, dan layanan publik lainnya karena sejatinya kekayaan yang dimiliki para koruptor itu bersumber dari uang rakyat yang telah dirampasnya.

Selain itu kami juga menyerukan kepada masyarakat agar:

1. Terus mendukung setiap upaya pemberantasan korupsi, karena bagaimanapun juga masyarakat-lah yang menjadi korban dari setiap praktek korupsi ataupun praktek politik dari sistem kekuasaan yang korup.

2. Membangun kelompok gerakan masyarakat (baik petani, buruh, kaum miskin kota, mahasiswa, dll) untuk bersama-sama melakukan kontrol dan perlawanan terhadap praktek korupsi dan sistem kekuasaan yang korup.

Perubahan ada di tangan kita, bukan di tangan pemegang kekuasaan pro pemodal. Saatnya kita bersama-sama mengupayakan transformasi atau perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Semarang, 12 November 2009

Yohannes Thianika Budiarsa

Koordinator

Jumat, 01 Mei 2009

PMKRI.COM

INTELEKTUAL PEMBANGUN REZIM

Menjelang akhir kekuasaannya Soeharto berpidato, “negeri ini tidak bisa dipimpin oleh satu golongan saja”. Sejak awal ia sadar bahwa Orde Baru tidak mungkin bertahan mengandalkan kekuatan militer belaka. Dalam 32 tahun kekuasaannya ia bersekutu dan merekrut ribuan intelektual yang turut membangun, mempertahankan dan memelihara rezim tersebut. Pihak militer sendiri menganggap kaum intelektual ini sebagai kelompok strategis yang “berpengaruh besar terhadap kesadaran masyarakat dan menguasai aspek teknis dari pembangunan”. Sebaliknya sebagian intelektual juga menyambut kehadiran “perwira intelektual” yang berperan penting menjaga stabilitas dan mendorong modernisasi, seperti yang ditulis Rosihan Anwar dalam Peranan Intellegentsia Militer dan Pendidikan dalam Proses Modernisasi.


Mayoritas menteri anggota kabinet-kabinet pembangunan sejak Soeharto berkuasa adalah orang terpelajar yang mendapat gelar dari berbagai universitas di dalam maupun luar negeri. Mereka didukung oleh staf ahli dan intelektual lain mengerjakan proyek penelitian serta lulusan perguruan tinggi lainnya. Di samping itu ada sejumlah perwira militer yang menyesaki birokrasi sipil dari pusat sampai daerah, lulusan Seskoad atau akademi militer di luar negeri.


Pertemuan intelektual dan militer yang berkuasa sejak 1965 dimulai sekitar sepuluh tahun sebelumnya. Pengaruh Belanda yang mulai melemah sejak penyerahan kedaulatan 1949 pelan-pelan diganti Amerika Serikat yang membuka berbagai program untuk mengirim tenaga pengajar ke Indonesia dan sebaliknya merekrut sarjana Indonesia melanjutkan studinya di sana. USAID, Yayasan Ford dan Rockefeller berperan penting menyediakan dana program yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pengajar universitas sampai dinas intelejen. Tahun 1957 misalnya dicetuskan proyek senilai $150 juta yang melibatkan Henry Kissinger dan William Bundy dari CIA yang bertujuan “merancang ideologi bagi para intelektual di belahan dunia lain mulai dari bidang sosial, penciptaan seni sampai metodologi ilmiah”.


Di Indonesia salah satu tokoh pentingnya adalah Guy J. Parker, yang berhubungan dekat dengan perwira militer dan elite politik Jakarta. Bersama elite militer Indonesia ia merancang program pendidikan di sekolah staf komando (kemudian menjadi Seskoad) untuk melatih para perwira muda agar memilih pengetahuan cukup di bidang lain seperti ekonomi, sosial-politik dan komunikasi di samping strategi militer. Di kalangan sipil Bruce Glassburner memimpin sebuah tim dari Berkeley untuk menandingi pengaruh Belanda dan pemikiran Soekarno yang semakin dominan. Mereka merekrut sarjana dari berbagai universitas terkemuka untuk belajar di AS dan sebaliknya mengirim tenaga pengajar di bidang administrasi bisnis, perencanaan ekonomi dan statistik.


Menjelang 1965 peran mereka semakin penting. Dalam sebuah memorandum Februari tahun itu, pejabat CIA melaporkan perkembangan operasi rahasia yang antara lain bertujuan “menyiapkan pengganti pemerinta Soekarno yang anti-komunis”, melibatkan perwira militer, kalangan intelektual sampai seniman. Operasi yang sukses tentunya dan mantan dubes Marshal Green pun menilai proyek pendidikan dan operasi itu sebagai “investasi kita yang paling berharga bagi masa depan Indonesia”. Dengan bangga ia melaporkan bahwa para pengambil keputusan terpenting di bidang ekonomi adalah lulusan Harvard dan Berkeley, sementara perwira militer yang terlibat kup dan kemudian tampil memimpin adalah lulusan akademi militer AS.


Kumpulan laporan rahasia yang baru-baru ini diumumkan untuk ditarik kembali oleh pemerintah AS tentu tidak menyebutkan penyingkiran ribuan intelektual kiri pada saat bersamaan. Sebagian mereka dibunuh atau hilang tanpa bekas, sementara lainnya ditangkap atau dibuang atau tidak bisa kembali dari luar negeri. “Ini adalah periode kehilangan yang jelas merugikan perkembangan dan kemajuan ilmu”, kata filsuf Karlina Leksono-Supelli.


Disingkirkannya kekuatan kiri dan dukungan negara industri maju memberi jalan bagi tumbuhnya persekutuan intelektual-politisi-militer yang ditegaskan di hadapan publik dalam Seminar Angkatan Darat pada Agustus 1966. dalam seminar ini mereka merumuskan landasan bagi rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Orde Baru.


Memeluk Pasar Bebas


Persekutuan paling kuat terjadi di bidang ekonomi, yang melibatkan ahli ekonomi Indonesia, pemilik modal, bankir, militer dan politisi dari dalam maupun luar negeri serta lembaga keuangan internasional. Tujuan resminya adalah “memulihkan ekonomi Indonesia”, yang dalam kenyataannya berarti mengubah haluan ekonomi Indonesia memeluk kapitalisme pasar bebas. Media massa menyokongnya sebagai pilihan rasional di tengah kemerosotan ekonomi dan kesulitan hidup yang makin menjadi.


Saat Jenderal Soeharto menguasai pemerintahan sepenuhnya tahun 197 para ahli ini mulai menduduki posisi penting dalam kabinet. Di Departemen Perdagangan tampil Sumitro Djojohadikusumo (Rotterdam 1939), dan Subroto (Harvard 1964) sebagai wakilnya, sementara Bappenas dipimpin Widjojo Nitisastro (Berkeley 1961) dan Emil Salim (Berkeley 1964) sebagai wakilnya. Mohammad Sadli (MIT 1956) menjadi ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing sementara Barli Harlim (Berkeley 1969) duduk di Departemen Industri. Dominasi lulusan Universitas Berkeley membuat mereka kerap disebut “Mafia Berkeley”, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh jurnal Ramparts di AS.


Dalam program pemulihan ekonomi itu mereka sebenarnya lebih memainkan peran public relations guna menarik modal asing masuk. Bulan November 1967 mereka menghadiri konperesi di Jenewa yang diprakarsai oleh James Linen, pimpinan Times Inc. untuk memperkenalkan program Orde Baru di hadapan wakil-wakil perusahaan multinasional raksasa. Ahli sosiologi Selo Soemardjan yang menulis laporan khusus pertemuan itu mengatakan bahwa delegasi Indonesia berangkat tanpa persiapan dan pengalaman. Satu-satunya sasaran adalah menarik minat para investor untuk mengalirkan modalnya ke Indonesia dan menerima segala persyaratan yang ditetapkan oleh mereka.


Selama tahun-tahun pertama Orde Baru hampir semua aturan dan kebijakan ekonomi sesungguhnya dibuatkan rancangannya oleh IMF, Bank Dunia, USAID atau konsultan asing membanjiri Jakarta setelah Soekarno disingkirkan. Dalam perjanjian dengan Freport McMoran yang sampai hari ini bercokol di Papua, ekonom Mohammad Sadli mengaku hanya minta ditunjukkan kolom-kolom yang harus ditandatanganinya. “Bagi kami yang penting adalah mendatangkan modal ke Indonesia,” katanya seperti dikutip Jeffrey Winters dalam Power in Motion.


Di masa selanjutnya persekutuan ahli ekonomi, kalangan bisnis dan lembaga keuangan internasional semakin kuat. Pendidikan tinggi, khususnya fakultas ekonomi di universitas terkemuka dikuasai oleh pendukung pasar bebas yang menjadikannya sekolah khusus calon birokrat, staf ahli atau manajer. Pemerintah AS membantu dengan dana dan tenaga teknis. Tidak kurang Walt. W Rostow – yang sering dikutip Jenderal Soeharto dalam pidatonya – turun tangan memberikan penilaian dan nasehat. Dalam sebuah pertemuan bulan Juli 1967 ia mengatakan, “Indonesia seharusnya membuat lembaga yang mendidik pengusaha dan manajer industri seperti Harvard Business School”.


Sejumlah “perwira intelektual” lulusan Seskoad dan akademi militer di luar negeri, secara bertahap mereka mulai mengisi jabatan-jabatan yang semula dikendalikan oleh elite sipil. Sejak 1970-an bermunculan tokoh-tokoh seperti Mayjen Umar Wirahadikusumah di Badan Pemeriksa Keuangan, Kolonel Sutjipto dan Mayjen Muskita di Departemen Perdagangan, Kolonel Sumudarsono dan Mayjen Tirtajasa di Departemen Perindustrian serta Brigjen Piet Harjono dan Brigjen Tahir di Departemen Keuangan.


Di tahun 1980-an ketika rezim Orde Baru mulai dilanda kritik gencar karena kebijakan pembangunannya menyengsarakan orang banyak, intellectual establishment ini menjadi pelindung utamanya. Krisis finansial 1997 dan tumpukan hutang warisan Orde Baru tidak mengubah orientasi kalangan ahli ini yang tetap saja menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.


Ilmu Rekayasa Sosial-Politik


Sejalan dengan orientasi pertumbuhan dan pasar di bidang ekonomi, para ahli ilmu sosial merancang strategi modernisasi. Masalah terbesar di Indonesia menurut mereka adalah tetap bercokolnya nilai-nilai tradisional yang menghambat modernisasi. Karena itu diperlukan program rekayasa sosial (social engineering) yang menantang nilai-nilai itu, mengintegrasikan masyarakat pedesaan khususnya dengan ekonomi pasar, dan memperbesar peran negara serta kaum elite untuk menentukan apa yang menjadi prioritas bagi orang banyak.


Politik massa mengambang yang menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan penting – termasuk yang menyangkut hidup mereka sendiri – adalah bagian dari strategi modernisasi ini. Dalam pandangan para ahli, masyarakat Indonesia umumnya masih terbelakang sehingga diperlukan elite yang dapat menentukan arah, merumuskan konsep dan melaksanakan kebijakan. Garis pemikiran ini sesuai dengan kepentingan militer yang megutamakan stabilitas dan kaum modal yang memerlukan kepastian bagi penanaman modalnya.


Ada bermacam peran yang dimainkan oleh kalangan ilmuwa sosial di sini. Sebagian memilih terlibat dalam operasi ketertiban yang dilancarkan militer sjak Oktober 1965. sejumlah pengajar universitas dan mahasiswa direkrut sebagai interogator tahanan politik, sementara ahli psikologi yang bekerjasama dengan Universitas Leiden membuat klasifikasi para tahanan yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya. Ahli komunikasi Alwi Dahlan dan Hidayat Mukmin sementara itu terlibat dalam operasi penerangan Kopkamtib akhir 1968 yang antara lain bertugas,”menyebarluaskan pengertian di kalangan masyarakat mengenai bahaya laten dari sisa-sisa G-30-S/PKI maupun golongan ekstrem dan subversif lainnya”. Di masa Alwi Dahlan menjadi ketua BP-7 yang melahirkan program indoktrinasi negara bagi segala lapisan masyarakat.


Sebagian lain membentuk kelompok studi atau think-tank seperti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga yang didirikan antara lain oleh Ali moertopo, Soedjono Hoemardani, Sofyan dan Jusuf Wanandi, serta Harry Tjan Silalahi ini bekerjasama erat dengan aparat Opsus yang sangat berpengaruh awal 1970-an. Tahun 1971 mereka berperan besar bagi kemenangan Golkar dalam pemilihan umum, dengan menyingkirkan kekuatan politik yang potensial menjadi penghalang. Lembaga ini juga menghasilkan kajian mengenai orientasi kebijakan pembangunan, seperti 25 Tahun Akselerasi Modernisasi dan Pembangunan yang ditulis Ali Moertopo tahun 1973. Beberapa diantaranya juga aktif dalam bisnis seperti Sofyan Wanandi dan soedjono Hoemardani yang mengurus beberapa kontrak pemerintah dengan perusahaan multinasional dari Jepang.


Di samping intelektual yang terlibat langsung dalam aksi politik dan kadang operasi intelejen ini, ada kalangan yang lebih moderat seperti Selo Soemardjan, Harsja Bachtiar, Astrid Susanto, Mattulada dan Miriam Budiardjo yang menguasai program-program studi ilmu sosial di beberapa universitas terkemuka. Dibandingkan rekan-rekannya di atas kegiatan mereka lebih “akademik”, termasuk mencari landasan ilmiah bagi konsep-konsep yang dicetuskan penguasa Orde Baru seperti “integrasi nasional” dan “manusia Pancasila”. Tapi mengikuti kerangka social engineering yang sama mereka cenderung berbicara tentang apa yang seharusnya (das solen) ketimbang menggambarkan apa yang sebenarnya ada.


Orientasi sosialis yang didapat ilmuwan dari hubungan erat dengan Tiongkok dan Uni Soviet sebelum 1965 dikikis secara sistematis dari dunia pendidikan dengan memperkenalkan karya-karya Shmuel Eisenstadt, Lucien Pye, Gabriel Almond dan Samuel Huntington yang berbicara tentang pentingnya negara dunia ketiga mengikuti jalur modernisasi kapitalis. Dengan bantuan teknis serta dana dari Yayasan Ford, Rockefeller dan USAID mereka juga mengembangkan pergaulan internasional yang melibatkan ahli-ahli seperti Cliffort Geertz, Karl Jackson dan Robert Jay.


Revolusi Hijau dan Transmigrasi


Masalah besar yang dihadapi Orde Baru untuk memacu modernisasi adalah pangan dan kepadatan penduduk. Sampai tahun 1960-an Indonesia masih menjadi salah satu importir beras terbesar. Ahli ekonomi dan ilmu sosial memahaminya sebagai akibat keterbelakngan teknologi dan laju pertambahan penduduk yang pesat. Untuk mengatasi masalah pertama pemerintah mengundang ahli pertanian dari berbagai negara dan sebaliknya mengirim tenaga dari Indonesia untuk mempelajari modernisasi sektor pertanian yang dikenal dengan sebutan “revolusi hijau”.


Salah satu lembaga terpenting adalah International Rice Research Institute (IRRI) yang dibentuk di Filipina tahun 1960 dengan dukungan Yayasan Ford dan Rockefeller. Penguasa Orde Baru mulai bekerjasama dengan lembaga ini sejak Desember 1972 untuk mengembangkan alat bioteknologi, intensifikasi pertanian, pengendalian hama dan teknik mekanisasi pertanian. Banyak dari 832 ahli Indonesia lulusan IRRI antara 1963 dan 1997 yang kemudian menduduki jabatan penting dalam pemerintahan seperti Menteri Pertanian Wardjojo, Syarifuddin Karama dan Farid Bahar.


Sejalan dengan doktrin modernisasi, cara pertanian lama ditinggalkan (kadang dengan paksa) dan petani diharuskan menanam bibit keluaran lembaga penelitian itu yang bekerjasama dengan bisnis pertanian. Di satu pihak terjadi peningkatan produktivitas yang mencapai puncaknya pada swasembada pangan 1984, tapi di sisi lain sistem monokultur mengganggu keragaman hayati dan juga cara-cara tradisional yang ternyata lebih efektif untuk menghadapi situasi krisis. Komersialisasi pengetahuan dan teknik pertanian membuat semakin banyak petani yang tersingkir dari tanah mereka karena tidak mampu mengikuti “tuntutan pasar” yang semakin meluas.


Masalah kepadatan penduduk sementara itu diatasi dengan program keluarga berencana dan transmigrasi. Berbekal pinjaman $820 juta dari Bank Dunia, antara 1976 dan 1992 sekitar lima juta jiwa dipindahkan dari Jawa ke berbagai daerah yang menciptakan sederet masalah baru. Ahli kependudukan, antropologi dan ilmu sosial yang terlibat dalam program ini umumnya hanya terarah pada kelayakan tempat dan kerap tidak mempertimbangkan dampak dari perpindahan manusia dalam jumlah begitu besar. Masalahnya menjadi lebih rumit ketika kalangan intelektual ini harus memasukkan kepentingan militer dalam perumusan programnya. Selama 1980-an puluhan ribu orang dikirim ke “daerah-daerah kosong” di sepanjang perbatasan Kalimantan, Papua dan Timor Lorosae. Beberapa diantaranya adalah pensiunan militer yang juga menjalankan fungsi intelejen dan mendukung kegiatan militer lainnya.


Integrasi nasional yang dirumuskan ahli ilmu sosial diterjemahkan menjadi program yang sangat bermasalah. Dalam pertemuan dengan IGGI 1985, Menteri Transmigrasi Martono mengatakan “transmigrasi di Indonesia akan mengintegrasikan semua sukubangsa ke dalam satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.” Semua perbedaan antara kelompok etnik akhirnya akan lenyap dan yang tersisa adalah satu jenis manusia saja. Tujuan itu nampak jelas di Papua dan Timor Lorosae, dimana transmigrasi terjadi bersamaan dengan penghancuran kebudayaan setempat.


Akhir dari Orde?


Persekutuan intelektual dengan rezim tidak selamanya berlangsung mulus. Cukup banyak ilmuwan yang mengajar di perguruan tinggi, menjadi pegawai negeri dan tetap mempertahankan integritasnya walau tak dapat berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Ada juga yang semula mendukung munculnya kekuasaan militer dan ikut merawatnya selama bertahun-tahun kemudian kecewa. Sebagian berteriak lantang menentang otoritarianisme yang makin menjadi, sebagian lain tertunduk diam saat melihat pilihan di luar rezim semakin terbatas saja.


Bayangan tentang Indonesia yang modern, maju dan stabil hancur dalam tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto. Hutang luar negeri $160 milyar lebih, perekonomian yang kecanduan modal dan pinjaman selama puluhan tahun, migrasi penduduk ke kota yang diusir oleh kemiskinan di desa asalnya, maraknya impor beras yang membuat petani produk Revolusi Hijau semakin terpuruk, dan kualitas pendidikan yang amburadul. Dalam sastra keadaannya lebih tragis lagi. Saat ini penulis Indonesia yang dikenal dunia karena karyanya bisa dihitung dengan jari. Salah satu yang terpenting – jika bukan yang terpenting – adalah Pramoedya Ananta Toer,yang menulis dalam tahanan dan karyanya terus dilarang semasa Soeharto berkuasa.


Jatuhnya Soeharto Mei 1998 tidak dengan sendirinya mengubah cara pikir dan tradisi intelektual yang dibangun selama kekuasaannya. Krisis belum berakhir dan arah perubahan masih kabur. Sebagian intelektual yang turut membangun dan memelihara rezim Orde Baru mencari pegangan baru. Di tengah ketidakpastian, banjir uang dari mereka yang turut membangun kediktatoran Orde Baru, mulai dari Bank Dunia sampai USAID, datang kembali. Mereka terkena amnesia politik, seolah lupa apa yang terjadi di masa lalu, merumuskan pikiran lamanya dalam bahasa baru, “reformasi”.


(Disalin utuh dari website Tim Media Kerja Budaya)

Jumat, 06 Maret 2009

PENTING !


MANFAAT BERORGANISASI DI PMKRI*)

  1. Belajar mengembangkan diri dengan keterampilan organisasi
  2. Mengasah kepedulian dan kepekaan sosial
  3. Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kemasyarakatan
  4. Memperdalam iman dan mewujudkannya dalam perbuatan
  5. Menambah teman serta memperluas pergaulan
  6. Dan lain-lain...
  7. Lan sakpanunggalane...
  8. Etc...

*) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Berdiri sejak tahun 1957 dan memiliki 60 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Rabu, 25 Februari 2009

BERSATU KITA TEGUH

(Yang Tersisa dari “Posko WMD untuk Korban Banjir di Semarang” – bagian kedua)

Bencana banjir melanda Semarang. Di satu sisi kita melihat parahnya dampak yang ditimbulkan oleh curahan air yang tidak tertampung oleh saluran-saluran pembuangan air di sekitarnya sehingga mau tak mau harus meluap dan menggenangi pemukiman. Disisi lain, kita melihat pula inisiatif sporadis dari para donatur untuk membantu meringankan penderitaan para korban. Gelombang simpati beberapa pihak terhadap korban banjir Semarang tersebut – yang terwujud dalam bentuk bantuan logistik serta obat-obatan yang disumbangkan melalui posko WMD – bahkan terus mengalir hingga satu hari setelah kegiatan posko resmi ditutup tanggal 12 Februari 2009.


Dengan dukungan para mahasiswa Katolik dari beberapa kampus, posko berjalan selama kurang lebih empat hari dengan kegiatannya, mulai memetakan wilayah banjir hingga mendistribusikan bantuan. Data posko menyebutkan bahwa tak kurang 20 mahasiswa setiap harinya stand by mulai pagi hingga sore untuk melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh para donatur, yakni menyalurkan bantuan kepada para korban.


Dari segi kuantitas, jumlah bantuan dapat dikatakan relatif besar. Posko dengan segala perangkatnya-lah yang mencoba me-manage barang-barang tersebut untuk kemudian diserahkan langsung kepada para korban banjir. Mekanisme kerja selalu diupayakan untuk diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan posko. Struktur serta perangkat kerja pun dibentuk guna mendukung aktivitas kemanusiaan yang dilakukan selama empat hari tersebut.


Mekanisme rapat selalu diselenggarakan setiap awal dan akhir kegiatan. Substansi evaluasi serta rencana aksi tidak pernah luput dari agenda rapat. Semuanya hanya untuk satu tujuan. Lancarnya kegiatan posko penyaluran bantuan bagi korban banjir. Dan aktivitas posko hanya bisa disebut lancar jika bantuan yang datang telah didistribusikan kepada para korban yang benar-benar membutuhkan, dengan merujuk pada hasil pemetaan tim survey atau hasil analisa data lapangan serta melalui koordinasi semua perangkat bentukan posko, termasuk tim logistik.


Tanpa disadari, inilah satu pengorganisasian aktivitas yang terus menerus disempurnakan selama empat hari. Kerja terorganisasi itu bercampur dengan kegembiraan dan keletihan para relawan posko selama empat hari di Wisma Mahasiswa Driyarkara. Gambaran semula – yang mungkin dipikirkan beberapa orang – bahwa aktivitas posko hanya merupakan aktivitas kemanusiaan individu atau personal seketika lenyap saat melihat adanya proses mengorganisir (mengumpulkan) serta mengorganisasi (menata) aktivitas yang dilakukan tiap individu tersebut.


Semua kerja perangkat posko, mulai tim logistik yang menerima donasi, tim survey yang melakukan pemetaan lokasi bencana dan mendistribusikan bantuan, hingga beberapa orang yang senantiasa menyiapkan logistik bagi para relawan pun saling berhubungan. Koordinasi yang dijalankan di bawah koordinator masing-masing seksi tersebut senantiasa disinkronkan melalui pertemuan kolektif tiap awal dan akhir kegiatan posko pada setiap harinya.


Sekilas, memang masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun hal tersebut tidak mengurangi esensi dari pentingnya suatu kegiatan yang terorganisir melalui satu pengorganisasian kerja bersama demi tercapainya satu tujuan bersama pula. Niat mulia tiap individu relawan – yang dimanifestasikan dengan cara melibatkan diri dalam kegiatan posko – tersebut pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama. Membantu meringankan para korban banjir.


Proses selama empat hari di posko itulah yang kemudian menyatukan inisiatif sporadis tiap personal – baik mahasiswa ataupun relawan lainnya – dalam satu kegiatan bersama yang tertata dan terkoordinasi demi tercapainya satu tujuan bersama. Upaya “kolektivisasi” aktivitas tersebut harus dimaknai sebagai upaya peningkatan kualitas atau maksimalisasi kerja kemanusiaan melalui posko WMD.


Satu pelajaran berharga lain serta tantangan yang tersisa dari “Posko WMD untuk Korban Banjir di Semarang”. Tujuan yang sama seringkali tidak dengan serta merta membuat kita saling berkoordinasi untuk menata niat baik yang kita miliki, sekaligus merumuskan strategi serta taktik apa yang akan kita tempuh demi tercapainya tujuan tersebut. Sering kita cenderung memilih untuk mewujudkan niat baik kita tersebut secara minimal, karena memang kita cenderung memilih untuk mewujudkannya seorang diri.


Cara pandang “individu” masih melekat kuat dalam benak kita tatkala kita dihadapkan pada tantangan untuk berbuat sesuatu demi kepentingan bersama. Kebutuhan terhadap suatu organisasi sering kita kesampingkan hanya karena didasarkan pada pertimbangan yang lebih bersifat teknis, misal ribet dengan segala ketatnya aturan serta disiplin yang dimiliki suatu organisasi. Padahal tanpa kita sadari, justru disiplin itulah yang justru membantu kita mewujudkan apa yang menjadi tujuan tiap individu yang telah tergabung dalam suatu organisasi.


Banyaknya bantuan yang mengalir melalui posko tentu tidak dapat disalurkan kepada para korban secara maksimal dalam jangka waktu empat hari jika para relawan bekerja sendiri-sendiri serta tidak terkoordinasi dan terpimpin. Contoh kecil inilah yang mematahkan anggapan bahwa organisasi itu tidak perlu. Ibarat sapu lidi, kesatuan lidi yang diikat dalam bentuk sapu tentu akan lebih efektif membersihkan kotoran jika dibanding dengan satu batang lidi di tangan.


Walaupun harus diakui pula bahwa motivasi awal seseorang untuk berorganisasi itu sangatlah beragam, namun sesuai perkembangannya, organisasi itulah yang akan mengubah orientasi awal yang dimiliki tiap anggota sehingga sejalan dengan tujuan dan kepentingan organisasi. Hanya satu hal yang perlu dicatat, dalam batas-batas tertentu organisasi akan senantiasa memenuhi kebutuhan para anggotanya.


Banjir telah berlalu. Posko pun telah resmi ditutup. Namun kebutuhan akan berorganisasi tetap ada, terutama saat mengingat transformasi kondisi sosial, ekonomi, serta politik dalam masyarakat – yang juga menjadi tanggung jawab kita sebagai kaum terdidik – belum sepenuhnya terwujud. Kemiskinan yang dialami sekitar 40 persen dari total rakyat Indonesia, tidak teraksesnya pendidikan dan kesehatan oleh semua lapisan masyarakat, penguasaan kekayaan dan potensi sumber daya alam oleh pihak asing dan segelintir elit dalam negeri adalah sedikit contoh realita saat ini yang kita hadapi. Kondisi riil yang tentu saja membutuhkan pemahaman kolektif akan realitas serta serangkaian kerja kolektif yang tersistematisasi melalui suatu alat perubahan yang sering kita sebut sebagai: ORGANISASI.


Kini tersisa satu pertanyaan, mampukah kita mengubah perspektif tentang organisasi, membangun kesadaran akan pentingnya berorganisasi, serta mulai membangun organisasi dengan cita-cita perubahan ke arah kehidupan masyarakat yang lebih baik?. (Agustinus Ariawan).

BANJIR dan IRONI KAMPANYE PEMILU

(Yang Tersisa dari “Posko WMD untuk Korban Banjir di Semarang” – bagian pertama)

Bagai mengulang “tradisi” di tiap musim hujan, untuk kesekian kalinya beberapa wilayah di kota Semarang kembali tergenang banjir. Hujan deras yang mengguyur kota selama dua hari hampir tanpa jeda mengakibatkan air sungai meluap dan menggenangi beberapa wilayah langganan banjir, terutama di Semarang bagian bawah. Berbagai data lapangan di beberapa wilayah menyebutkan jika tinggi genangan air mencapai pinggang orang dewasa, bahkan ada yang mengklaim ketinggian air setinggi dada.

Kepedulian dari berbagai pihak terhadap para korban pun bermunculan. Pendirian berbagai posko serta penyaluran bantuan, seperti sembako dan obat-obatan, pun dilakukan. Semua demi meringankan beban mereka yang menjadi korban banjir. Banjir akibat hujan deras yang terjadi sejak tanggal 7 Februari 2009 itu memang dapat dikatakan lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Indikasinya jelas terlihat dari tinggi genangan serta jangka waktu genangan banjir tersebut yang lebih lama jika dibanding tahun lalu.

Dengan dukungan dari lembaga sosial, para rohaniwan rohaniwati, serta beberapa umat Katolik di Semarang, simpati kepada korban banjir di beberapa wilayah – seperti Muktiharjo Kidul, Sawah Besar, Mangkang Kulon, Dhadapsari, Tambakrejo, serta Kemijen – yang dirasakan para mahasiswa Katolik, anggota PMKRI dan Pemuda Katolik, serta beberapa pegiat mahasiswa yang sering beraktivitas di Wisma Mahasiswa Driyarkara dimanifestasikan dalam bentuk pendirian posko bersama untuk penyaluran bantuan yang dibutuhkan selama fase tanggap darurat. Tulisan ini adalah hasil refleksi pribadi atas keikutsertaan dalam kegiatan posko yang berlangsung sejak tanggal 8 – 12 Februari 2009.

Nuansa yang sedikit berbeda dapat ditemui di lokasi bencana banjir di Semarang kali ini. Hal tersebut disebabkan bertepatannya bencana dengan masa kampanye para calon anggota legislatif. “Banjir” poster, spanduk, pamflet para caleg serta bendera dari berbagai partai politik ternyata tak kalah seru jika dibandingkan dengan “banjir air” yang menggenang di bawahnya. Senyum manis para calon wakil rakyat itu nampak kontras jika dibanding senyum dan tawa getir para korban banjir yang nampak begitu mengharap bantuan dari para donatur.

“Kami hanya dapat jatah satu kilogram beras dan tiga bungkus mie instan, Mas”, kata seorang warga wilayah Muktiharjo Kidul yang ditemui di rumahnya, saat posko melakukan pendataan jumlah korban guna keperluan penyaluran bantuan. Warga tersebut juga menceritakan bahwa bantuan tersebut diberikan kepada tiap-tiap Kepala Keluarga (KK) di RW tempat tinggalnya.

Cerita yang lebih mencengangkan bahkan didapat dari salah satu warga lainnya. “Di daerah sini sebenarnya bermukim beberapa caleg, dari tingkat kota sampai propinsi. Kemarin saya sudah mendatangi rumahnya satu persatu. Namun anehnya, setiap saya datang dan minta bantuan, mereka selalu tidak berada di tempat”, ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa rata-rata kediaman para calon anggota legislatif itu selalu tertutup rapat dan ketika didatangi, hanya ditemui oleh pembantu rumah tangganya.

Kisah yang didapat langsung dari para korban tersebut ibarat sebuah ironi jika melihat banyaknya janji dan slogan yang diumbar oleh mereka yang memasang tampang manis dan senyum ramah dalam peraga kampanye yang bertebaran di pohaon, dinding, serta tiang listrik daerah tersebut. Bagaikan pepesan kosong, janji kesejahteraan bagi masyarakat itu nampaknya sudah mulai bisa diukur dengan minimnya kiprah mereka saat masyarakat benar-benar membutuhkan kepedulian dari banyak pihak. Benarkah jika mereka terpilih nantinya, mereka akan benar-benar mewujudkan apa yang dijanjikan pada hari ini?.

Pemilu sebagai mekanisme pergantian kekuasaan di negara modern memang harus disikapi secara cerdas. Partisipasi masyarakat dalam pemilu kian mengalami trend penurunan. Praktek politik yang masih mengedepankan “kemasan” daripada “isi” masih banyak terjadi. Sementara itu, peran parpol, sebagai kelompok politik, dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat hingga kini belum juga berjalan. Yang terjadi justru adalah “komodifikasi dan manipulasi” ekspektasi masyarakat terhadap perubahan itu sendiri.

Hal itu justru mendorong masyarakat kian apatis terhadap setiap penyelenggaraan pemilu, baik tingkat lokal maupun tingkat nasional. Tak heran jika kini pilihan terhadap golput kian nyaring terdengar di tingkat masyarakat. Walau terkadang disayangkan bahwa pilihan golput tersebut seringkali tidak diimbangi dengan tawaran alternatif solusi serta hanya cenderung kekecewaan emosional individu dan tidak terorganisir.

“Memilih” adalah hak setiap warga negara, pun sama halnya dengan “tidak memilih”. Namun pertanyaannya, apakah semua ini akan berhenti pada pilihan untuk “memilih” atau “golput” dalam pemilu besok?. Benarkah ini hanya sebatas tanggung jawab moral pribadi kita atas pilihan yang kita ambil saat pemilu kelak?

Yang jelas, baik golput maupun tidak, posisi kita sebagai warga negara tidaklah berubah. Kita tidak bakal kehilangan kesempatan untuk mengkritisi setiap kebijakan penguasa terpilih hanya karena kita golput.

Akhirnya, semoga kisah korban banjir di atas tidak dialami para korban banjir dan masyarakat umum di daerah lain. (Agustinus Ariawan).