Sabtu, 08 November 2008

PRAKTEK IMAN KATOLIK DALAM HIDUP KESEHARIAN: belajar dari pengalaman Teologi Pembebasan

Dalam praktek keseharian hidup beriman, sering kita memberikan porsi lebih besar terhadap setiap upaya penghayatan iman Katolik yang kita yakini. Berbagai acara pendalaman iman, Ekaristi, persekutuan doa, hingga ibadat lingkungan sering kita ikuti guna lebih meningkatkan kadar keimanan kita akan Allah. Bahkan terkadang kita tidak sempat memikirkan satu hal yang tak kalah pentingnya, yakni perwujudan akan iman Katolik yang sebenarnya juga menjadi tanggungjawab kita.


Perwujudan iman haruslah tidak terlepas dari kondisi masya
rakat yang saat ini tengah terjadi. Ini diperlukan guna mewujudkan iman Kristiani secara kontekstual.


Ada baiknya jika kita belajar dari praktek Teologi Pembebasan di Amerika Latin
guna memberikan sedikit gambaran salah satu dari sekian banyak contoh praktek perwujudan iman Kristiani secara kontekstual.


Situasi masyarakat di Amerika Latin mengalami b
anyak kemunduran sejak diberlakukannya industrialisasi dibawah arahan modal multinasional mulai tahun 1950-an. Kemiskinan menjadi hal yang akrab dalam kehidupan keseharian. Ketergantungan negara terhadap negara donor kian tinggi, sementara di tingkat masyarakat pertentangan sosial kian dalam. Urbanisasi tinggi memicu pertumbuhan kota-kota besar sehingga menciptakan pemusatan kaum buruh baru dan membengkakkan jumlah kaum miskin kota.


Dibawah penindasan penguasa diktator serta pengaruh Revolusi Kuba 1959, upaya para petugas awam Gereja (dan beberapa anggota lembaga kepastoran) yang aktif di kalangan mahasiswa, kelompok kerukunan rumah tangga, serikat buruh perkotaan dan pedesaan, serta kelompok masyarakat basis mencoba membangun perlawanan dengan tujuan akhir mengubah kehidupan sosial ke arah yang lebih baik.



Mereka menggunakan berbagai cara, mulai dari mempengaruhi para Uskup sampai melibatkan diri secara aktif dalam gerakan rakyat jelata, termasuk perang gerilya. Sekitar 157 ribu orang penganut beberapa tarekat seperti Yesuit, Dominikan, Fransiskan, Maryknoll, Capuchin, dan beberapa tarekat perempuan bergabung dalam gerakan orang Katolik awam seperti Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Katolik, Aksi Katolik, gerakan pendidikan masyarakat akar rumput (Brazilia), gerakan menuntut pembagian tanah (Nikaragua), Federasi Petani Kristen (El Salvador), dan gerakan masyarakat basis lainnya. Bahkan pilihan gerakan yang lebih radikal pun dilakukan dengan mendukung kaum gerilyawan, seperti kelompok gerilya Aksi Pembebasan Nasional (Brazil), Tentara Pembebasan Nasional/ELN (Kolombia), dan Front Sandinista untuk Pembebasan Nasional/FSLN (Nikaragua).



Sementara kondisi internal Gereja yang mengalami perubahan, diantaranya perkembangan aliran
teologis baru pasca Perang Dunia II, perkembangan bentuk baru ajaran sosial Kristen (romo kaum buruh, dll), terbukanya Gereja terhadap kajian filsafat dan ilmu sosial modern, sampai adanya Konsili Vatikan II (1962-1965) serta Konferensi Medellin (1968) di Kolombia semakin membuat Gereja “tidak berdaya” terhadap suatu kewajiban untuk berpihak kepada korban penindasan dan ketidakadilan.



Walaupun mendapat tekanan keras dari beberapa kalangan internal Gereja, namun upaya Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves Carlos Mesters, Hugo Assmann, Leonardo Boff, Frei Betto (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Juan Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay), dan ratusan ribu rohaniwan lain beserta umat Katolik lainnya tak kunjung padam. Mereka terus berusaha membangun apa yang mereka istilahkan “Gereja Orang Miskin”, yakni suatu kondisi dimana Gereja Katolik berpihak pada orang miskin dan tertindas, bukan sebaliknya menghamba kepada penguasa.



Bahkan terbunuhnya Romo Camillo Torres dan Romo Gaspar Garcia Laviana dalam perang gerilya di Kolombia dan Nikaragua, diperkosa dan dibunuhnya suster tarekat Mayknoll, hingga tertembaknya Mgr. Oscar Romero karena khotbahnya yang mengutuk penguasa militer serta menyerukan pembangkangan bagi tentara El Salvador ternyata tidak menyurutkan semangat mereka yang berniat menafsirkan ulang iman Kristiani sekaligus mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Dari sedikit cerita diatas, tidak dapat disangkal lagi bahwa telah tiba saatnya kini kita sebagai mahasiswa Katolik Indonesia turut serta ambil bagian secara aktif guna mewujudkan perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Semangat Teologi Pembebasan di Amerika Latin kiranya dapat membantu kita untuk terus memelihara rasa keberpihakan kita pada kaum lemah, miskin, tertindas yang disingkirkan oleh tatanan sosial, ekonomi, politik yang tidak adil. Ilmu pengetahuan yang kita miliki haruslah kita abdikan guna mewujudkan kesejahteraan untuk masyarakat luas. Seperti halnya Yesus yang juga berjuang melawan berbagai penindasan yang terjadi di zamannya, kiranya semangat itulah yang mendasari langkah kita bersama mewujudkan iman Kristiani yang benar-benar nyata dan relevan dengan situasi sekarang.


Strategi atau metode yang kita pilih tentu haruslah didasarkan pada kondisi masyarakat saat ini. Yang penting adalah persatuan dan kebersamaan yang selalu harus kita jaga dan dikembangkan, karena hal itu akan semakin memperkuat setiap usaha yang kita lakukan.


Gustavo Gutierrez (1973) mengartikan pembebasan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik; pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia; pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sehingga Gutierrez merumuskan Teologi Pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda. Sedangkan Leonardo Boff (1974) menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindas ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup politik, ekonomi dan kulturalnya (http: //lulukpr.multiply.com/)


Pemahaman iman Kristini memang penting, namun itu semua belum cukup. Bagaimana iman Kristiani yang kita yakini mampu mendasari usaha kita dalam mendorong terjadinya perubahan sosial tak kalah pentingnya. Kondisi Amerika Latin pada masa Teologi Pembebasan tak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Saat inilah iman Kristiani kita tengah diuji. Mampukah kita, sebagai mahasiswa Katolik, bersama dengan kelompok masyarakat tertindas lainnya mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini?. Bukankah hal tersebut adalah cita-cita kita semua?.


Beberapa kelompok umat Katolik telah berusaha mewujudkannya. Pun halnya dengan Rm. Y. B. Mangunwijaya dengan keterlibatannya dalam berbagai persoalan sosial. Sampai kapan mahasiswa Katolik, baik secara individu maupun kelompok, terus berdiam diri sementara tuntutan akan perubahan kian bergema? Salam Damai dalam Kasih Yesus Kristus. Berkah Dalem. (Agustinus Ariawan).

Kamis, 06 November 2008

Tantangan Gerakan Sosial ke Depan

Sebuah Pengantar Singkat

Hugo Chavez Frias pernah mengemukakan analisa singkat, tetapi tajam. Kira-kira bunyinya begini: "Bila ingin mengentaskan kemiskinan, berilah kepada si miskin kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan modal."


Apa yang hendak disampaikan oleh Chavez sebenarnya adalah kemiskinan disebabkan oleh tersingkirnya si miskin dari akses atas kekuasaan, akses ilmu pengetahuan dan akses terhadap modal. Ungkapannya adalah sekaligus penegasan bahwa kemiskinan bukan suatu fenomena yang ada dengan sendirinya, layaknya dalam dongeng yang menceritakan tentang bahagianya kaum bangsawan sebagai keturunan para Dewa dalam kegelimangan harta, sementara rakyat jelata keturunan manusia biasa, hanya bisa hidup menghamba. Ungkapannya sekaligus juga menunjukkan ada system sosial yang timpang dan cacat.


Sebenarnya ungkapan analitik dari Chavez di atas bukanlah suatu hal yang baru. Bila di masa sekarang Chavez getol mengkritik strategi kebijakan neoliberalisme yang menggilas rakyat kecil, beberapa decade yang lalu telah ada barisan intelektual yang mengkritik strategi kebijakan developmentalisme yang mandul dalam mengentaskan kemiskinan. Apapun strateginya, entah developmentalisme ataupun neoliberalisme, pada dasarnya menjalankan bentuk strategi yang sama. Sama-sama mengimani kredo trickle down effect, yang percaya bahwa peningkatan kesejahteraan pada segelintir orang akan meneteskan bulir-bulir kesejahteraan yang akan dinikmati orang banyak.


Juga, sama-sama menjadikan kota (urban) sebagai pusat bisnis dan pembangunan, dengan demikian daerah-daerah pinggiran (sub urban) dan desa (rural) akan berkembang sesuai tumbuh dan berkembangnya kota sebagai pusat kegiatan bisnis. Sudah saatnya kita menyadarkan diri dan dunia, bahwa strategi developmentalisme ataupun neoliberalisme GAGAL TOTAL ! OMONG KOSONG !


Kita bisa memelototi data-data dan fakta-fakta kemiskinan yang jumlahnya semakin berkembang tidak terkendali dari tahun ke tahun. Telah banyak diulas bahwa sekitar 200-an perusahaan raksasa, memegang lebih dari 70 % kekayaan dunia (kita bisa bayangkan hanya tersisa 30% kekayaan dunia untuk umat manusia di dunia yang tidak termasuk kelompok 200-an perusahaan raksasa tersebut).


Di Indonesia sendiri, data BPS maupun dinas pertanian pada tahun 2004, menunjukkan lebih dari 60% orang miskin di Indoensia terdapat di pedesaan. Ini menunjukkan bahwa sistem sosial yang ada di negara kita ini turut melanggengkan kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh sekelompok kecil saja, bahkan sering dengan gaya hidup yang memuakkan. Begitupun juga, menjadikan desa-desa sebagai kantong-kantong kemiskinan yang memang sengaja diabaikan, bahkan sengaja dihisap untuk kepentingan bisnis di perkotaan, metropolitan atau megapolitan.


Sebagai solusi bagi perubahan sosial di Indonesia, ada baiknya bila kita berpaling pada desa sebagai basis perubahan. Sekaligus sebagai upaya membalikkan strategi kebijakan pembangunan, yang secara sistematis menyingkirkan desa. Mengambil dari apa yang diungkapkan Chavez, perlu kita pikirkan bagaimana membangun kedaulatan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi desa yang selama ini tersingkirkan.

Banyak kalangan berpendapat bahwa desa adalah simbol ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan. Bahkan pembawa acara sekaliber Tukul Arwana kerap kali menjadikan olok-olok "wong ndeso" sebagai senjata andalannya. Walaupun masih ada tokoh seperti Garin Nugroho yang mengkritik keras banyolan bergaya Tukul Arwana seperti itu, toh olok-olok "wong ndeso" masih laris manis. Demikian pula stigma bahwa orang desa itu bodoh, malas, sukar untuk diajak maju, dan ketinggalan jaman masih melekat dalam benak kebanyakan orang.

Tidak hanya di kalangan umum, kalangan akademis juga bertanggung jawab dalam reproduksi stigma terhadap orang-orang desa. Adalah ilmuwan sosial penganut aliran fungsionalisme yang mempunyai kesimpulan negatif terhadap fenomena ketertinggalan masyarakat desa. Kesimpulan mereka di antaranya menyatakan bahwa keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan adalah akibat :
-sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi,
-sulitnya untuk menerima teknologi baru,
-malas,
-tidak mempunyai motivasi yang kuat.

Hampir senada dengan yang disebutkan di atas, berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat tani di Jawa, Clifford Geertz menambahkan kesimpulannya terhadap keterbelakangan masyarakat tani di pedesaan Jawa adalah karena :
- merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan pokok yang paling dasar)
- budaya shared poverty (berbagi kemiskinan bersama)

Tentunya dengan pandangan dan kesimpulan seperti itu, para ilmuwan dan kaum cendekiawan semacam Clifford Geertz, menganggap bahwa masyarakat desa, khususnya tani di pedesaan, mengalami masa involutif (tidak berkembang, menuju kepunahan). Sangat bertolak belakang dengan budaya Barat yang dominan akan need for achievement (kebutuhan akan prestasi/pencapaian)

Kita tidak bisa sepenuhnya menyangkal kesimpulan Clifford Geertz atau para ilmuwan fungsional yang lain, akan tetapi kita bisa menunjukkan titik kelemahan pada analisa mereka. Kelemahan terbesar yang melekat pada aliran fungsional adalah pengabaiannya pada: sejarah perkembangan masyarakat dan struktur sosial yang ada dari masa ke masa.

Para pengkritik aliran fungsionalisme menyebutkan bahwa mereka hanya melihat masyarakat desa dalam ruang yang hampa. Seakan-akan lepas dari interaksi, dominasi, penaklukan dari struktur sosial yang lebih luas. Saya tidak yakin ilmuwan sekaliber Clifford Geertz, tidak menguasai tentang sejarah kekuasaan kolonial Belanda di tanah air ataupun sejarah kekuasaan kaum feodal, penguasa tanah pribumi.........

Saya tidak yakin bahwa kepiawaian mereka dalam merumuskan teori, tidak membuat mereka mampu melihat struktur sosial semacam apa yang sedang bekerja, yang mengakibatkan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa.........

Malah bisa jadi mereka mengabaikannya...........
Mari kita buka kembali lembaran sejarah pedesaan di tanah air.............

Pada awal abad ke-19, Sistem Tanam Paksa diterapkan di tanah air oleh penguasa kolonial Belanda. Petani dipaksa oleh penguasa untuk menanam tanaman perdagangan (seperti kopi, kapas, tebu, dll) pada hampir 2/3 lahan mereka. Akibatnya, pada musim kering, dan produksi tanaman pangan kian menipis terjadi kelaparan yang meluas. Sejarawan Sartono Kartodirjo mencatat ribuan pribumi mati kelaparan pada bencana kekeringan ini.

Pada masa Liberalisme awal diberlakukan pemerintah Hindia Belanda di tanah air, petani yang sebagian besar hidup di pedesaan diwajibkan menyerahkan tanahnya untuk disewa perkebunan-perkebunan Belanda. Paksaan, intimidasi dan kekerasan yang dilakukan melalui para pamong praja, lurah dan penguasa feodal pribumi membuat petani tak berkutik dan terpaksa menyerahkan tanahnya dengan harga sewa yang jauh dari layak. Akibatnya banyak masyarakat tani di pedesaan terjerat hutang pada saudagar-saudagar kaya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Banyak yang terjerembab menjadi buruh tani tuna tanah, atau menjual anak-anak gadis mereka untuk membayar hutang. Fakta ini banyak dicuplik dalam beberapa novel Pramoedya.

Pada tahun 1960-an, banyak buruh tani yang ditangkap, dipenjarakan, dibui dan dikriminalisasi karena menuntut proses percepatan pembagian tanah yang adil sesuai dengan UUPA tahun 1960.

Bahkan di desa Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah, ratusan hektar tanah yang telah lebih dari 30 tahun didiami, dirampas untuk dijadikan lahan perkebunan karet yang dikelola PTPN IX. Pada masa revolusi hijau diterapkan di Indonesia, banyak petani di pedesaan terjerat hutang pada kaum tengkulak, karena diharuskan, dipaksa, seringkali dengan intimidasi, untuk membeli bibit padi unggul yang sudah disediakan pemerintah, untuk membeli pupuk kimia pendukungnya yang harganya tidak murah, dan lain-lain....

Nah, maka benarlah apa yang telah diungkapkan oleh para pengkritik kaum fungsional, bahwa yang menjadi masalah pada keterbelakangan masyarakat pedesaan tidak melulu karena kemalasan, ketidakmauan untuk beradaptasi terhadap budaya modern atau ketidak mampuan menerapkan teknologi.......

akan tetapi yang utama adalah masalah penguasaan, penaklukan, exploitation de l'homme par l'homme (penghisapan manusia terhadap sesamanya)........

Nah, mulailah untuk melangkah, membenahi sejarah pedesaan yang telah carut marut...
Minimal dengan menghilangkan olok-olok "wong ndeso" sebagai kebodohan, kemalasan...
Ingatlah, mereka hanya korban,
dan visi misi kita yang mengharuskan berjuang untuk "wong ndeso" (orang desa)..

Justice and humanity ! Now !

Change ! Now Or Never !

Oleh: Bambang Prakoso (Anggota PMKRI Cabang Surakarta)

SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Weblog PMKRI Cabang Semarang St. Gregorius.