Tampilkan postingan dengan label Katolik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Katolik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Desember 2008

BAGAI BERSERU DI PADANG GURUN

Rabu 17 Desember 2008. Sejak siang hujan deras mengguyur kota Semarang hingga pukul 18.30. Namun cuaca yang kurang bersahabat tersebut ternyata tidak menghalangi umat, romo, dan suster paroki St. Familia Atmodirono untuk hadir dalam saresehan ASG (Ajaran Sosial Gereja). Nampaknya keinginan dan minat umat Katolik untuk berkumpul serta berdiskusi guna membahas fenomena serta gerakan sosial dari perspektif gereja Katolik begitu kuat sehingga kegiatan yang berlangsung di Panti Mandala tersebut dihadiri oleh tak kurang dari 50 orang.

Semula yang akan menjadi pembicara pada saresehan tersebut adalah Romo PK4AS (Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang), Romo Sugihartanto Pr, dan Andreas Pandiangan, M.Si, Dosen Unika Soegijopranoto yang juga anggota KPU Jawa Tengah. Tetapi karena Pak Andreas berhalangan, maka dr. Gregorius Sudargo dari FMKI (Forum Masyarakat Katolik Indonesia) Jawa Tengah kemudian menggantikan posisi beliau sebagai pembicara.

Saresehan dibuka dengan paparan dari Romo Sugi. Seraya mengungkapkan pertemuannya dengan salah satu aktivis Islam, Gus Nuril, di Watugong beberapa waktu sebelumnya. Gus Nuril berpesan kepada Romo supaya umat Katolik lebih banyak terlibat dalam persoalan kemasyarakatan sehingga “terlihat api dan cahayanya”. “Orang katolik itu sebenarnya mutiara, tetapi kok hanya dipendem (disembunyikan). Padahal kalau mutiara itu keluar maka akan memberi warna yang baik”, ungkap Romo. Menurutnya, hanya di Katolik-lah pimpinan tertinggi agama, yaitu Paus, mengeluarkan seruan-seruan sosial dalam bentuk dokumen. Sedangkan di agama lain hal yang sama tidak ditemui. Romo juga mengungkapkan bahwa ia semakin tergelitik setelah mengetahui bahwa di pondok pesantren yang dipimpin Gus Nuril mempunyai koleksi dokumen ASG yang sangat lengkap, bahkan Gus Nuril juga mengajarkan ASG kepada para santrinya.

Dan saat Romo menanyakan apakah ada diantara peserta yang mempunyai dokumen-dokumen ASG, ternyata tidak ada seorangpun yang mengacungkan jari. Hal yang sungguh ironis jika mengingat bahwa pihak yang mengeluarkan ASG justru tidak dipelajari oleh umatnya sendiri. “Mengajarkan ASG seperti Santo Yohanes Pembaptis yang berseru-seru di padang gurun tanpa ada yang mendengarkan”, ujar Romo saat menanggapi realitas yang dialami Gereja Katolik.

Ia juga menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga hambatan ketika Gereja Katolik, termasuk Keuskupan Agung Semarang, ingin meluncurkan ASG supaya diperdalam umatnya. Pertama, realita bahwa Gereja masih lebih menitikberatkan sisi ibadah atau ritual dibanding gerakan. Kedua, orang Katolik yang hidup berkecukupan tidak memiliki kepedulian terhadap mereka yang menderita. Sedang ketiga, adanya ketakutan bahwa posisi Katolik adalah minoritas.

Sedang dr. Greg selaku pembicara kedua membahas ASG dalam praktek. Menurutnya, ASG sebenarnya tidak memberikan solusi teknis bagi setiap permasalahan sosial yang ada. Peran ASG lebih sebagai “bintang penuntun” yang dapat kita gunakan dalam menyikapi persoalan sosial. Sedangkan politik praktis adalah strategi yang dapat dipakai guna menyampaikan aspirasi terkait persoalan sosial tersebut.

Artinya, tambah dr. Greg, dibutuhkan pendidikan politik yang cerdas bagi umat Katolik. Melalui “demokrasi yang baik”-lah nilai – nilai ASG bisa diangkat. Dan berbicara tentang demokrasi, ia memberikan penjelasan bahwa terdapat dua macam demokrasi, yakni demokrasi prosedural dan demokrasi deliberatif.

Demokrasi prosedural dapat kita amati pada saat pemilu, dimana proses tersebut melalui mekanisme voting. Sedang demokrasi deliberatif, dalam praktek, lebih menitikberatkan pada diskusi untuk memecahkan suatu masalah. Di Amerika Serikat pada awal berdirinya negara, demokrasi deliberatif lebih ditekankan. Baru setelah demokrasi ini berjalan maksimal maka dibuatlah sistem demokrasi prosedural yang matang. Di Indonesia, jelas dr. Greg, ada kesalahan dimana semua pengambilan keputusan sampai pada taraf yang terkecil justru lebih menitikberatkan pada voting semata tanpa mendalami permasalahan terlebih dahulu.

Praktek ASG memang masih menjadi persoalan tersendiri. Romo Suryo, MSF selaku pastor paroki dalam sambutan penutupnya juga menyampaikan kegelisahan serupa. “Kita sering mendalami ASG, tetapi tidak melaksanakannya”, katanya. Ia juga menyampaikan pertanyaan tentang apa saja yang dilakukan anggota legislatif dan caleg Katolik ketika RUU perburuhan yang merugikan buruh ditetapkan?. “Tidak ada suaranya”, tegas Romo Suryo. (Lukas Wahyu Wardiatmoko).

Sabtu, 08 November 2008

PRAKTEK IMAN KATOLIK DALAM HIDUP KESEHARIAN: belajar dari pengalaman Teologi Pembebasan

Dalam praktek keseharian hidup beriman, sering kita memberikan porsi lebih besar terhadap setiap upaya penghayatan iman Katolik yang kita yakini. Berbagai acara pendalaman iman, Ekaristi, persekutuan doa, hingga ibadat lingkungan sering kita ikuti guna lebih meningkatkan kadar keimanan kita akan Allah. Bahkan terkadang kita tidak sempat memikirkan satu hal yang tak kalah pentingnya, yakni perwujudan akan iman Katolik yang sebenarnya juga menjadi tanggungjawab kita.


Perwujudan iman haruslah tidak terlepas dari kondisi masya
rakat yang saat ini tengah terjadi. Ini diperlukan guna mewujudkan iman Kristiani secara kontekstual.


Ada baiknya jika kita belajar dari praktek Teologi Pembebasan di Amerika Latin
guna memberikan sedikit gambaran salah satu dari sekian banyak contoh praktek perwujudan iman Kristiani secara kontekstual.


Situasi masyarakat di Amerika Latin mengalami b
anyak kemunduran sejak diberlakukannya industrialisasi dibawah arahan modal multinasional mulai tahun 1950-an. Kemiskinan menjadi hal yang akrab dalam kehidupan keseharian. Ketergantungan negara terhadap negara donor kian tinggi, sementara di tingkat masyarakat pertentangan sosial kian dalam. Urbanisasi tinggi memicu pertumbuhan kota-kota besar sehingga menciptakan pemusatan kaum buruh baru dan membengkakkan jumlah kaum miskin kota.


Dibawah penindasan penguasa diktator serta pengaruh Revolusi Kuba 1959, upaya para petugas awam Gereja (dan beberapa anggota lembaga kepastoran) yang aktif di kalangan mahasiswa, kelompok kerukunan rumah tangga, serikat buruh perkotaan dan pedesaan, serta kelompok masyarakat basis mencoba membangun perlawanan dengan tujuan akhir mengubah kehidupan sosial ke arah yang lebih baik.



Mereka menggunakan berbagai cara, mulai dari mempengaruhi para Uskup sampai melibatkan diri secara aktif dalam gerakan rakyat jelata, termasuk perang gerilya. Sekitar 157 ribu orang penganut beberapa tarekat seperti Yesuit, Dominikan, Fransiskan, Maryknoll, Capuchin, dan beberapa tarekat perempuan bergabung dalam gerakan orang Katolik awam seperti Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Katolik, Aksi Katolik, gerakan pendidikan masyarakat akar rumput (Brazilia), gerakan menuntut pembagian tanah (Nikaragua), Federasi Petani Kristen (El Salvador), dan gerakan masyarakat basis lainnya. Bahkan pilihan gerakan yang lebih radikal pun dilakukan dengan mendukung kaum gerilyawan, seperti kelompok gerilya Aksi Pembebasan Nasional (Brazil), Tentara Pembebasan Nasional/ELN (Kolombia), dan Front Sandinista untuk Pembebasan Nasional/FSLN (Nikaragua).



Sementara kondisi internal Gereja yang mengalami perubahan, diantaranya perkembangan aliran
teologis baru pasca Perang Dunia II, perkembangan bentuk baru ajaran sosial Kristen (romo kaum buruh, dll), terbukanya Gereja terhadap kajian filsafat dan ilmu sosial modern, sampai adanya Konsili Vatikan II (1962-1965) serta Konferensi Medellin (1968) di Kolombia semakin membuat Gereja “tidak berdaya” terhadap suatu kewajiban untuk berpihak kepada korban penindasan dan ketidakadilan.



Walaupun mendapat tekanan keras dari beberapa kalangan internal Gereja, namun upaya Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves Carlos Mesters, Hugo Assmann, Leonardo Boff, Frei Betto (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Juan Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay), dan ratusan ribu rohaniwan lain beserta umat Katolik lainnya tak kunjung padam. Mereka terus berusaha membangun apa yang mereka istilahkan “Gereja Orang Miskin”, yakni suatu kondisi dimana Gereja Katolik berpihak pada orang miskin dan tertindas, bukan sebaliknya menghamba kepada penguasa.



Bahkan terbunuhnya Romo Camillo Torres dan Romo Gaspar Garcia Laviana dalam perang gerilya di Kolombia dan Nikaragua, diperkosa dan dibunuhnya suster tarekat Mayknoll, hingga tertembaknya Mgr. Oscar Romero karena khotbahnya yang mengutuk penguasa militer serta menyerukan pembangkangan bagi tentara El Salvador ternyata tidak menyurutkan semangat mereka yang berniat menafsirkan ulang iman Kristiani sekaligus mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Dari sedikit cerita diatas, tidak dapat disangkal lagi bahwa telah tiba saatnya kini kita sebagai mahasiswa Katolik Indonesia turut serta ambil bagian secara aktif guna mewujudkan perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Semangat Teologi Pembebasan di Amerika Latin kiranya dapat membantu kita untuk terus memelihara rasa keberpihakan kita pada kaum lemah, miskin, tertindas yang disingkirkan oleh tatanan sosial, ekonomi, politik yang tidak adil. Ilmu pengetahuan yang kita miliki haruslah kita abdikan guna mewujudkan kesejahteraan untuk masyarakat luas. Seperti halnya Yesus yang juga berjuang melawan berbagai penindasan yang terjadi di zamannya, kiranya semangat itulah yang mendasari langkah kita bersama mewujudkan iman Kristiani yang benar-benar nyata dan relevan dengan situasi sekarang.


Strategi atau metode yang kita pilih tentu haruslah didasarkan pada kondisi masyarakat saat ini. Yang penting adalah persatuan dan kebersamaan yang selalu harus kita jaga dan dikembangkan, karena hal itu akan semakin memperkuat setiap usaha yang kita lakukan.


Gustavo Gutierrez (1973) mengartikan pembebasan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik; pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia; pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sehingga Gutierrez merumuskan Teologi Pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda. Sedangkan Leonardo Boff (1974) menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindas ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup politik, ekonomi dan kulturalnya (http: //lulukpr.multiply.com/)


Pemahaman iman Kristini memang penting, namun itu semua belum cukup. Bagaimana iman Kristiani yang kita yakini mampu mendasari usaha kita dalam mendorong terjadinya perubahan sosial tak kalah pentingnya. Kondisi Amerika Latin pada masa Teologi Pembebasan tak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Saat inilah iman Kristiani kita tengah diuji. Mampukah kita, sebagai mahasiswa Katolik, bersama dengan kelompok masyarakat tertindas lainnya mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini?. Bukankah hal tersebut adalah cita-cita kita semua?.


Beberapa kelompok umat Katolik telah berusaha mewujudkannya. Pun halnya dengan Rm. Y. B. Mangunwijaya dengan keterlibatannya dalam berbagai persoalan sosial. Sampai kapan mahasiswa Katolik, baik secara individu maupun kelompok, terus berdiam diri sementara tuntutan akan perubahan kian bergema? Salam Damai dalam Kasih Yesus Kristus. Berkah Dalem. (Agustinus Ariawan).