Rabu, 25 Februari 2009

BERSATU KITA TEGUH

(Yang Tersisa dari “Posko WMD untuk Korban Banjir di Semarang” – bagian kedua)

Bencana banjir melanda Semarang. Di satu sisi kita melihat parahnya dampak yang ditimbulkan oleh curahan air yang tidak tertampung oleh saluran-saluran pembuangan air di sekitarnya sehingga mau tak mau harus meluap dan menggenangi pemukiman. Disisi lain, kita melihat pula inisiatif sporadis dari para donatur untuk membantu meringankan penderitaan para korban. Gelombang simpati beberapa pihak terhadap korban banjir Semarang tersebut – yang terwujud dalam bentuk bantuan logistik serta obat-obatan yang disumbangkan melalui posko WMD – bahkan terus mengalir hingga satu hari setelah kegiatan posko resmi ditutup tanggal 12 Februari 2009.


Dengan dukungan para mahasiswa Katolik dari beberapa kampus, posko berjalan selama kurang lebih empat hari dengan kegiatannya, mulai memetakan wilayah banjir hingga mendistribusikan bantuan. Data posko menyebutkan bahwa tak kurang 20 mahasiswa setiap harinya stand by mulai pagi hingga sore untuk melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh para donatur, yakni menyalurkan bantuan kepada para korban.


Dari segi kuantitas, jumlah bantuan dapat dikatakan relatif besar. Posko dengan segala perangkatnya-lah yang mencoba me-manage barang-barang tersebut untuk kemudian diserahkan langsung kepada para korban banjir. Mekanisme kerja selalu diupayakan untuk diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan posko. Struktur serta perangkat kerja pun dibentuk guna mendukung aktivitas kemanusiaan yang dilakukan selama empat hari tersebut.


Mekanisme rapat selalu diselenggarakan setiap awal dan akhir kegiatan. Substansi evaluasi serta rencana aksi tidak pernah luput dari agenda rapat. Semuanya hanya untuk satu tujuan. Lancarnya kegiatan posko penyaluran bantuan bagi korban banjir. Dan aktivitas posko hanya bisa disebut lancar jika bantuan yang datang telah didistribusikan kepada para korban yang benar-benar membutuhkan, dengan merujuk pada hasil pemetaan tim survey atau hasil analisa data lapangan serta melalui koordinasi semua perangkat bentukan posko, termasuk tim logistik.


Tanpa disadari, inilah satu pengorganisasian aktivitas yang terus menerus disempurnakan selama empat hari. Kerja terorganisasi itu bercampur dengan kegembiraan dan keletihan para relawan posko selama empat hari di Wisma Mahasiswa Driyarkara. Gambaran semula – yang mungkin dipikirkan beberapa orang – bahwa aktivitas posko hanya merupakan aktivitas kemanusiaan individu atau personal seketika lenyap saat melihat adanya proses mengorganisir (mengumpulkan) serta mengorganisasi (menata) aktivitas yang dilakukan tiap individu tersebut.


Semua kerja perangkat posko, mulai tim logistik yang menerima donasi, tim survey yang melakukan pemetaan lokasi bencana dan mendistribusikan bantuan, hingga beberapa orang yang senantiasa menyiapkan logistik bagi para relawan pun saling berhubungan. Koordinasi yang dijalankan di bawah koordinator masing-masing seksi tersebut senantiasa disinkronkan melalui pertemuan kolektif tiap awal dan akhir kegiatan posko pada setiap harinya.


Sekilas, memang masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun hal tersebut tidak mengurangi esensi dari pentingnya suatu kegiatan yang terorganisir melalui satu pengorganisasian kerja bersama demi tercapainya satu tujuan bersama pula. Niat mulia tiap individu relawan – yang dimanifestasikan dengan cara melibatkan diri dalam kegiatan posko – tersebut pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama. Membantu meringankan para korban banjir.


Proses selama empat hari di posko itulah yang kemudian menyatukan inisiatif sporadis tiap personal – baik mahasiswa ataupun relawan lainnya – dalam satu kegiatan bersama yang tertata dan terkoordinasi demi tercapainya satu tujuan bersama. Upaya “kolektivisasi” aktivitas tersebut harus dimaknai sebagai upaya peningkatan kualitas atau maksimalisasi kerja kemanusiaan melalui posko WMD.


Satu pelajaran berharga lain serta tantangan yang tersisa dari “Posko WMD untuk Korban Banjir di Semarang”. Tujuan yang sama seringkali tidak dengan serta merta membuat kita saling berkoordinasi untuk menata niat baik yang kita miliki, sekaligus merumuskan strategi serta taktik apa yang akan kita tempuh demi tercapainya tujuan tersebut. Sering kita cenderung memilih untuk mewujudkan niat baik kita tersebut secara minimal, karena memang kita cenderung memilih untuk mewujudkannya seorang diri.


Cara pandang “individu” masih melekat kuat dalam benak kita tatkala kita dihadapkan pada tantangan untuk berbuat sesuatu demi kepentingan bersama. Kebutuhan terhadap suatu organisasi sering kita kesampingkan hanya karena didasarkan pada pertimbangan yang lebih bersifat teknis, misal ribet dengan segala ketatnya aturan serta disiplin yang dimiliki suatu organisasi. Padahal tanpa kita sadari, justru disiplin itulah yang justru membantu kita mewujudkan apa yang menjadi tujuan tiap individu yang telah tergabung dalam suatu organisasi.


Banyaknya bantuan yang mengalir melalui posko tentu tidak dapat disalurkan kepada para korban secara maksimal dalam jangka waktu empat hari jika para relawan bekerja sendiri-sendiri serta tidak terkoordinasi dan terpimpin. Contoh kecil inilah yang mematahkan anggapan bahwa organisasi itu tidak perlu. Ibarat sapu lidi, kesatuan lidi yang diikat dalam bentuk sapu tentu akan lebih efektif membersihkan kotoran jika dibanding dengan satu batang lidi di tangan.


Walaupun harus diakui pula bahwa motivasi awal seseorang untuk berorganisasi itu sangatlah beragam, namun sesuai perkembangannya, organisasi itulah yang akan mengubah orientasi awal yang dimiliki tiap anggota sehingga sejalan dengan tujuan dan kepentingan organisasi. Hanya satu hal yang perlu dicatat, dalam batas-batas tertentu organisasi akan senantiasa memenuhi kebutuhan para anggotanya.


Banjir telah berlalu. Posko pun telah resmi ditutup. Namun kebutuhan akan berorganisasi tetap ada, terutama saat mengingat transformasi kondisi sosial, ekonomi, serta politik dalam masyarakat – yang juga menjadi tanggung jawab kita sebagai kaum terdidik – belum sepenuhnya terwujud. Kemiskinan yang dialami sekitar 40 persen dari total rakyat Indonesia, tidak teraksesnya pendidikan dan kesehatan oleh semua lapisan masyarakat, penguasaan kekayaan dan potensi sumber daya alam oleh pihak asing dan segelintir elit dalam negeri adalah sedikit contoh realita saat ini yang kita hadapi. Kondisi riil yang tentu saja membutuhkan pemahaman kolektif akan realitas serta serangkaian kerja kolektif yang tersistematisasi melalui suatu alat perubahan yang sering kita sebut sebagai: ORGANISASI.


Kini tersisa satu pertanyaan, mampukah kita mengubah perspektif tentang organisasi, membangun kesadaran akan pentingnya berorganisasi, serta mulai membangun organisasi dengan cita-cita perubahan ke arah kehidupan masyarakat yang lebih baik?. (Agustinus Ariawan).

BANJIR dan IRONI KAMPANYE PEMILU

(Yang Tersisa dari “Posko WMD untuk Korban Banjir di Semarang” – bagian pertama)

Bagai mengulang “tradisi” di tiap musim hujan, untuk kesekian kalinya beberapa wilayah di kota Semarang kembali tergenang banjir. Hujan deras yang mengguyur kota selama dua hari hampir tanpa jeda mengakibatkan air sungai meluap dan menggenangi beberapa wilayah langganan banjir, terutama di Semarang bagian bawah. Berbagai data lapangan di beberapa wilayah menyebutkan jika tinggi genangan air mencapai pinggang orang dewasa, bahkan ada yang mengklaim ketinggian air setinggi dada.

Kepedulian dari berbagai pihak terhadap para korban pun bermunculan. Pendirian berbagai posko serta penyaluran bantuan, seperti sembako dan obat-obatan, pun dilakukan. Semua demi meringankan beban mereka yang menjadi korban banjir. Banjir akibat hujan deras yang terjadi sejak tanggal 7 Februari 2009 itu memang dapat dikatakan lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Indikasinya jelas terlihat dari tinggi genangan serta jangka waktu genangan banjir tersebut yang lebih lama jika dibanding tahun lalu.

Dengan dukungan dari lembaga sosial, para rohaniwan rohaniwati, serta beberapa umat Katolik di Semarang, simpati kepada korban banjir di beberapa wilayah – seperti Muktiharjo Kidul, Sawah Besar, Mangkang Kulon, Dhadapsari, Tambakrejo, serta Kemijen – yang dirasakan para mahasiswa Katolik, anggota PMKRI dan Pemuda Katolik, serta beberapa pegiat mahasiswa yang sering beraktivitas di Wisma Mahasiswa Driyarkara dimanifestasikan dalam bentuk pendirian posko bersama untuk penyaluran bantuan yang dibutuhkan selama fase tanggap darurat. Tulisan ini adalah hasil refleksi pribadi atas keikutsertaan dalam kegiatan posko yang berlangsung sejak tanggal 8 – 12 Februari 2009.

Nuansa yang sedikit berbeda dapat ditemui di lokasi bencana banjir di Semarang kali ini. Hal tersebut disebabkan bertepatannya bencana dengan masa kampanye para calon anggota legislatif. “Banjir” poster, spanduk, pamflet para caleg serta bendera dari berbagai partai politik ternyata tak kalah seru jika dibandingkan dengan “banjir air” yang menggenang di bawahnya. Senyum manis para calon wakil rakyat itu nampak kontras jika dibanding senyum dan tawa getir para korban banjir yang nampak begitu mengharap bantuan dari para donatur.

“Kami hanya dapat jatah satu kilogram beras dan tiga bungkus mie instan, Mas”, kata seorang warga wilayah Muktiharjo Kidul yang ditemui di rumahnya, saat posko melakukan pendataan jumlah korban guna keperluan penyaluran bantuan. Warga tersebut juga menceritakan bahwa bantuan tersebut diberikan kepada tiap-tiap Kepala Keluarga (KK) di RW tempat tinggalnya.

Cerita yang lebih mencengangkan bahkan didapat dari salah satu warga lainnya. “Di daerah sini sebenarnya bermukim beberapa caleg, dari tingkat kota sampai propinsi. Kemarin saya sudah mendatangi rumahnya satu persatu. Namun anehnya, setiap saya datang dan minta bantuan, mereka selalu tidak berada di tempat”, ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa rata-rata kediaman para calon anggota legislatif itu selalu tertutup rapat dan ketika didatangi, hanya ditemui oleh pembantu rumah tangganya.

Kisah yang didapat langsung dari para korban tersebut ibarat sebuah ironi jika melihat banyaknya janji dan slogan yang diumbar oleh mereka yang memasang tampang manis dan senyum ramah dalam peraga kampanye yang bertebaran di pohaon, dinding, serta tiang listrik daerah tersebut. Bagaikan pepesan kosong, janji kesejahteraan bagi masyarakat itu nampaknya sudah mulai bisa diukur dengan minimnya kiprah mereka saat masyarakat benar-benar membutuhkan kepedulian dari banyak pihak. Benarkah jika mereka terpilih nantinya, mereka akan benar-benar mewujudkan apa yang dijanjikan pada hari ini?.

Pemilu sebagai mekanisme pergantian kekuasaan di negara modern memang harus disikapi secara cerdas. Partisipasi masyarakat dalam pemilu kian mengalami trend penurunan. Praktek politik yang masih mengedepankan “kemasan” daripada “isi” masih banyak terjadi. Sementara itu, peran parpol, sebagai kelompok politik, dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat hingga kini belum juga berjalan. Yang terjadi justru adalah “komodifikasi dan manipulasi” ekspektasi masyarakat terhadap perubahan itu sendiri.

Hal itu justru mendorong masyarakat kian apatis terhadap setiap penyelenggaraan pemilu, baik tingkat lokal maupun tingkat nasional. Tak heran jika kini pilihan terhadap golput kian nyaring terdengar di tingkat masyarakat. Walau terkadang disayangkan bahwa pilihan golput tersebut seringkali tidak diimbangi dengan tawaran alternatif solusi serta hanya cenderung kekecewaan emosional individu dan tidak terorganisir.

“Memilih” adalah hak setiap warga negara, pun sama halnya dengan “tidak memilih”. Namun pertanyaannya, apakah semua ini akan berhenti pada pilihan untuk “memilih” atau “golput” dalam pemilu besok?. Benarkah ini hanya sebatas tanggung jawab moral pribadi kita atas pilihan yang kita ambil saat pemilu kelak?

Yang jelas, baik golput maupun tidak, posisi kita sebagai warga negara tidaklah berubah. Kita tidak bakal kehilangan kesempatan untuk mengkritisi setiap kebijakan penguasa terpilih hanya karena kita golput.

Akhirnya, semoga kisah korban banjir di atas tidak dialami para korban banjir dan masyarakat umum di daerah lain. (Agustinus Ariawan).

Inspirasi Kecil tentang Kecintaan Membaca




Membaca sewajarnya menjadi aktivitas yang dekat dengan para mahasiswa. Kuliah menuntut kekayaan wacana dan wawasan yang mendorong saya dan teman-teman sekalian untuk semakin dekat dengan buku serta beraneka referensi penunjang lainnya. Informasi surat kabar, majalah, atau artikel dari internet merupakan sumber yang sering kita akses dan menjadi bahan bacaan untuk memperkaya khasanah pengetahuan. Namun, apakah kita benar-benar sudah mempunyai kebiasaan membaca? Jangan-jangan bahan bacaan tadi menjadi akrab bagi kita ketika terdesak untuk merampungkan tugas kuliah saja?


Kaum Muda ’Tempo Doeloe’ yang Menginspirasi

Ada banyak tokoh mahasiswa yang namanya sudah terukir oleh sejarah. Perjuangan mereka terbukti sudah menciptakan perubahan bagi negeri ini. Sebut saja Soe Hok Gie yang pada era 1966 begitu teguh pada prinsip berjuang lewat penanya. Atau Auwjong Peng Koen yang kemudian lebih dikenal PK. Ojong dengan perjuangannya menyuarakan persamaan hak bagi masyarakat Tiong Hoa. Pada 1954, PK Ojong bersama Siauw Giok Tjhan, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat tergabung dalam Baperki yang fokus memperjuangkan hak masyarakat Tiong Hoa di Indonesia.


Kita juga pasti masih ingat detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan bangsa ini. Tanggal 16 Agustus tokoh-tokoh muda kita mengambil insiatif untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Padahal satu minggu sebelum proklamasi kemerdekaan, tanggal 9 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Radjiman Wediodiningrat singgah ke Taiping yang terletak di Semenanjung Malaya. Di Taiping mereka mengadakan pertemuan dengan para pemimpin gerakan kebangsaan Melayu untuk membicarakan upaya persiapan kemerdekaan. Dan mereka bersepakat untuk menyatakan kemerdekaan bangsa pada tanggal 22 Agustus 1945. Namun, atas desakan teman-teman muda waktu itu, akhirnya proklamasi kemerdekaan dinyatakan lebih awal dari kesepakatan sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1945.


Mereka, kaum muda serta mahasiswa pada zaman itu telah menorehkan sejarah perjuangan. Sumbangan mereka bagi negeri ini sangatlah besar. Yang terutama bagi mahasiswa masa kini adalah inspirasi dan nilai keteladanan yang mereka wariskan. Dalam kondisi yang serba menghimpit, dengan penuh semangat Soe Hok Gie, Auwjong Peng Koen, dan teman-teman era 45 berjuang membuat sebuah perubahan ke arah lebih baik.


Kaum muda ’tempo doeloe’ sangat sensitif dengan permasalahan kebangsaan. Dari hari ke hari mereka semakin menyadari bahwa modal utama untuk membebaskan Indonesia dari tangan penjajah adalah kekayaan pengetahuan. Mulailah bermunculan intelektual-intelektual muda yang begitu getol mempelajari sejarah kelam masa lalu Indonesia serta berbagai pengetahuan yang sebelumnya terpendam bagai harta karun. Mereka mulai mencintai kebiasaan membaca, berargumen baik secara lisan maupun tertulis, serta menajamkan gagasan lewat diskusi. Itu semua digerakkan oleh sebuah cita-cita luhur yakni menuju alam kemerdekaan.


Kebiasaan membaca semakin memperkaya isi kepala para intelektual muda ‘tempo doeloe’ dengan berbagai perspektif tentang perjuangan pembebasan Indonesia. Kekayaan pengetahuan dan gagasan itu pun mendorong mereka untuk berbagi dengan yang lain. Banyak terbitan surat kabar mulai berdiri. Salah satunya adalah koran Keng Po yang berdiri pada tahun 1945. Waktu itu pemimpin redaksi terbitan ini adalah Injo Beng Goat yang kemudian menjadi teman karib PK. Ojong. Keng Po sempat ditutup karena dirasa terlalu frontal menentang Jepang. Namun, pada 2 Januari 1947 hidup kembali dan semakin setia menajamkan wacana kritis masyarakat era itu dengan semangat perjuangan.


Selain terbitan koran Keng Po, lahir pula terbitan majalah mingguan Star Weekly pada 6 Januari 1946. Pada awal terbitnya, majalah ini dipimpin oleh Tan Hian Lay. Kemudian Auwjong Peng Koen semakin terlibat membesarkan majalah mingguan tersebut. Auwjong menunjukkan dedikasi yang tinggi pada majalah ini. Ia juga merupakan sosok yang sangat gemar membaca, karenanya kemudian ia dipercaya sebagai redaktur pelaksana Star Weekly.


Terkait kebiasaan membaca Auwjong, Helen Ishwara dalam Hidup Sederhana Berpikir Mulia PK. Ojong, berkisah banyak. “Buku catatan harian Auwjong penuh judul buku, tanggal, dan harga pembeliannya. Ia rajin menjelajahi toko buku, buku baru atau pun bekas. Kalau menginap di Bandung, di rumah sahabatnya semasa di HCK, Liem Boen Tik, ia bukan hanya senang nongkrong makan sate di kota sejuk ini, tetapi juga tidak lupa pergi ke pasar loak, tempat buku-buku bekas digelar.” Ojong benar-benar mencintai buku.


Belajar dari Mereka

Mahasiswa masa ini – saya dan teman-teman sekalian, agaknya perlu banyak belajar dari sosok seperti PK. Ojong, Injo Beng Goat, Soe Hok Gie, serta tokoh-tokoh muda Rengasdengklok. Mereka tampil sebagai kaum muda yang memiliki intelectual habits. Ojong dan Injo adalah pemimpin redaksi yang kaya wawasan karena mereka berdua sama-sama kutu buku. Gagasan mereka diikuti oleh banyak orang. Soe Hok Gie dan tokoh muda Rengasdengklok juga patut diteladani. Mereka memiliki keteguhan prinsip. Sangat gemar menajamkan gagasan lewat diskusi dan punya kepercayaan diri untuk berargumen.


Di zaman ini pun muncul sosok pahlawan intektual yang begitu getol menyebarkan virus gemar membaca. Dari sebuah artikel di harian KOMPAS, edisi 8 November 2008 saya menemukan kutipan seperti ini: “Saya tidak akan pernah berhenti mengajak bangsaku untuk gemar membaca agar menjadi bangsa yang cerdas supaya kelak dapat menyelesaikan persoalan bangsa.” Itulah pernyataan Parmanto, lelaki berusia 62 tahun yang berkomitmen mengajak sebanyak-banyaknya orang agar mempunyai kebiasaan membaca.


Mantan pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah itu, sejak tahun 2005 mengusahakan pendirian taman bacaan umum. Ia merelakan salah satu rumahnya untuk diisi 2000 koleksi buku berupa komik, novel, buku pelajaran, dan bahan skripsi dan menamainya “Taman Bacaan Mortir Parmanto.” Mula-mula taman bacaan yang berlokasi di Jalan Meranti Timur Dalam I/346, Banyumanik, Semarang tersebut setiap hari didatangi oleh 20-30 pengunjung. Namun, kini jumlah pengunjung mulai berkurang, hanya sekitar 10 orang saja setiap harinya dan sebagian besar adalah siswa Sekolah Dasar.


Itulah sekelumit cerita dari figur seorang Parmanto yang mewakili para pecinta buku dan sadar akan arti penting membaca. Parmanto tidak menyimpan sendiri kekayaan khasanah pengetahuannya. Ia ingin berbagi dengan orang lain, mengajak sebanyak-banyaknya teman, tetangga dan para kerabat untuk mulai gemar membaca.

Semoga, mahasiswa zaman ini – saya dan teman-teman sekalian semakin menyadari arti penting membaca. Paradigma membaca buku sekedar untuk menyelesaikan tugas kuliah terkikislah sudah. Mari kita amini buku sebagai sumber kekayaan ilmu. Semakin memperdalam isi kepala kita, menambah wacana dan gagasan untuk berargumen serta memantapkan pribadi para mahasiswa sebagai calon intelektual muda masa ini. Itu semua lahir dari sebuah kesetiaan untuk mau duduk berdiam beberapa lama sembari mengunyah harta di dalam sebuah sumber bacaan – apa pun itu wujudnya.(Yohanes Thianika Budiarsa – Ketua PRMK FISIP UNDIP periode 2007/2008).