Kamis, 25 Desember 2008

BAGAI BERSERU DI PADANG GURUN

Rabu 17 Desember 2008. Sejak siang hujan deras mengguyur kota Semarang hingga pukul 18.30. Namun cuaca yang kurang bersahabat tersebut ternyata tidak menghalangi umat, romo, dan suster paroki St. Familia Atmodirono untuk hadir dalam saresehan ASG (Ajaran Sosial Gereja). Nampaknya keinginan dan minat umat Katolik untuk berkumpul serta berdiskusi guna membahas fenomena serta gerakan sosial dari perspektif gereja Katolik begitu kuat sehingga kegiatan yang berlangsung di Panti Mandala tersebut dihadiri oleh tak kurang dari 50 orang.

Semula yang akan menjadi pembicara pada saresehan tersebut adalah Romo PK4AS (Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang), Romo Sugihartanto Pr, dan Andreas Pandiangan, M.Si, Dosen Unika Soegijopranoto yang juga anggota KPU Jawa Tengah. Tetapi karena Pak Andreas berhalangan, maka dr. Gregorius Sudargo dari FMKI (Forum Masyarakat Katolik Indonesia) Jawa Tengah kemudian menggantikan posisi beliau sebagai pembicara.

Saresehan dibuka dengan paparan dari Romo Sugi. Seraya mengungkapkan pertemuannya dengan salah satu aktivis Islam, Gus Nuril, di Watugong beberapa waktu sebelumnya. Gus Nuril berpesan kepada Romo supaya umat Katolik lebih banyak terlibat dalam persoalan kemasyarakatan sehingga “terlihat api dan cahayanya”. “Orang katolik itu sebenarnya mutiara, tetapi kok hanya dipendem (disembunyikan). Padahal kalau mutiara itu keluar maka akan memberi warna yang baik”, ungkap Romo. Menurutnya, hanya di Katolik-lah pimpinan tertinggi agama, yaitu Paus, mengeluarkan seruan-seruan sosial dalam bentuk dokumen. Sedangkan di agama lain hal yang sama tidak ditemui. Romo juga mengungkapkan bahwa ia semakin tergelitik setelah mengetahui bahwa di pondok pesantren yang dipimpin Gus Nuril mempunyai koleksi dokumen ASG yang sangat lengkap, bahkan Gus Nuril juga mengajarkan ASG kepada para santrinya.

Dan saat Romo menanyakan apakah ada diantara peserta yang mempunyai dokumen-dokumen ASG, ternyata tidak ada seorangpun yang mengacungkan jari. Hal yang sungguh ironis jika mengingat bahwa pihak yang mengeluarkan ASG justru tidak dipelajari oleh umatnya sendiri. “Mengajarkan ASG seperti Santo Yohanes Pembaptis yang berseru-seru di padang gurun tanpa ada yang mendengarkan”, ujar Romo saat menanggapi realitas yang dialami Gereja Katolik.

Ia juga menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga hambatan ketika Gereja Katolik, termasuk Keuskupan Agung Semarang, ingin meluncurkan ASG supaya diperdalam umatnya. Pertama, realita bahwa Gereja masih lebih menitikberatkan sisi ibadah atau ritual dibanding gerakan. Kedua, orang Katolik yang hidup berkecukupan tidak memiliki kepedulian terhadap mereka yang menderita. Sedang ketiga, adanya ketakutan bahwa posisi Katolik adalah minoritas.

Sedang dr. Greg selaku pembicara kedua membahas ASG dalam praktek. Menurutnya, ASG sebenarnya tidak memberikan solusi teknis bagi setiap permasalahan sosial yang ada. Peran ASG lebih sebagai “bintang penuntun” yang dapat kita gunakan dalam menyikapi persoalan sosial. Sedangkan politik praktis adalah strategi yang dapat dipakai guna menyampaikan aspirasi terkait persoalan sosial tersebut.

Artinya, tambah dr. Greg, dibutuhkan pendidikan politik yang cerdas bagi umat Katolik. Melalui “demokrasi yang baik”-lah nilai – nilai ASG bisa diangkat. Dan berbicara tentang demokrasi, ia memberikan penjelasan bahwa terdapat dua macam demokrasi, yakni demokrasi prosedural dan demokrasi deliberatif.

Demokrasi prosedural dapat kita amati pada saat pemilu, dimana proses tersebut melalui mekanisme voting. Sedang demokrasi deliberatif, dalam praktek, lebih menitikberatkan pada diskusi untuk memecahkan suatu masalah. Di Amerika Serikat pada awal berdirinya negara, demokrasi deliberatif lebih ditekankan. Baru setelah demokrasi ini berjalan maksimal maka dibuatlah sistem demokrasi prosedural yang matang. Di Indonesia, jelas dr. Greg, ada kesalahan dimana semua pengambilan keputusan sampai pada taraf yang terkecil justru lebih menitikberatkan pada voting semata tanpa mendalami permasalahan terlebih dahulu.

Praktek ASG memang masih menjadi persoalan tersendiri. Romo Suryo, MSF selaku pastor paroki dalam sambutan penutupnya juga menyampaikan kegelisahan serupa. “Kita sering mendalami ASG, tetapi tidak melaksanakannya”, katanya. Ia juga menyampaikan pertanyaan tentang apa saja yang dilakukan anggota legislatif dan caleg Katolik ketika RUU perburuhan yang merugikan buruh ditetapkan?. “Tidak ada suaranya”, tegas Romo Suryo. (Lukas Wahyu Wardiatmoko).

Rabu, 17 Desember 2008

PELANTIKAN DPC PMKRI CAB SALATIGA


Keterlibatan mahasiswa Katolik dalam persoalan sosial masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Hal itu dimaknai sebagai perwujudan iman Kristiani dalam kehidupan nyata. Demikian disampaikan Tri Adi Sumbogo, Ketua Presidium PP PMKRI St. Thomas Aquinas periode 2008/2010, saat melantik DPC PMKRI Cabang Salatiga St. Markus periode 2008/2009 tanggal 6 Desember 2008 lalu di SD Kanisius Cungkup, Salatiga.


Menurut Adi, PMKRI sebagai organisasi yang berbasis mahasiswa harus mampu mengubah dirinya menjadi organisasi gerakan mahasiswa dengan tetap berpegang teguh visi misi PMKRI. Tantangan dan hambatan yang ada harus dihadapi dan dipecahkan bersama baik di tingkat cabang, regio, atau nasional.


Sementara itu Ketua Presidium PMKRI Cabang Salatiga St. Markus periode 2008/2009, Anna Marie Happy Handayani, mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi mahasiswa Katolik, terutama di bidang akademik, tidak serta merta dijadikan alasan untuk tidak mengupayakan gerakan yang berpihak kepada kaum miskin dalam tubuh organisasi PMKRI. Ia juga meminta kerjasama yang baik diantara para pengurus guna menjalankan kerja organisasi serta membangun kembali PMKRI Cabang Salatiga setelah sempat meredup dinamikanya dalam satu tahun terakhir.


Dalam pelantikan tersebut, hadir pula para anggota PMKRI dari cabang Salatiga dan Semarang, para anggota penyatu PMKRI Cabang Salatiga, serta para tamu undangan. (Aa’).


Berikut DPC PMKRI Cabang Salatiga St. Markus periode 2008/2009:


Ketua Presidium : Anna Marie Happy Handayani
Sekretaris Jenderal : Antonius Danny Kurniawan
P. Pengembangan Organisasi : Kristian Andy Wibisono
P. Pendidikan : Peter
P. Gerakan Kemasyarakatan : Rena Danang Jaya
Bendahara : Megawati Oegijono, SE
Biro Studi dan Skill : Matta Prasetya
Biro Gerakan Kemasyarakatan: Lukman, SE


Kamis, 04 Desember 2008

MEMAHAMI KEDUDUKAN DAN PERAN INTELEKTUAL MUDA DALAM DINAMIKA SOSIAL KEMASYARAKATAN

“Pada dasarnya, semua orang punya potensi menjadi intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial”
(Antonio Gramsci)


Sejarah menunjukkan, bahwa setiap peristiwa-peristiwa besar di dunia seperti revolusi, restorasi dan reformasi, kenyataannya telah aktor-aktor penting didalamnya. Adalah Sukarno, sewaktu muda (mahasiswa) sudah mulai aktif terlibat secara langsung dalam pergerakan nasional. Indonesia merdeka! Itulah cita-cita seluruh anak negeri selama mengalami kepahitan ratusan tahun dibawah cengkeraman penguasa Kolonial. Bagi para pemuda, pelajar dan mahasiswa masa kolonialisme, mengabdikan seluruh hidupnya bagi kemerdekaan rakyat nasional adalah sebuah tuntutan sejarah yang harus mereka jalani.

Bagi seorang Sukarno dan kaum intelektual lainnya seperti Hatta, Syahrir membentuk Studie Club , merupakan praktek nyata guna membumikan gagasan-gagasan intelektual ke ranah perjuangan. Hal yang sama, sebelumnya juga pernah dilakukan Pergerakan Tmana Siswa dibawah pimpinan Ki Hajar Dewantoro pada th 1921. Tujuan gerakan ini yakni, mengembangkan suatu sistem pendidikan yang mendasar pada suatu sintesa realistis dari kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Barat yang kelak bisa mendidik pemuda Indonesia untuk berdikari dan mengembangkan dalam diri mereka menyelesaikan masalah-masalah praktis yang mereka hadapi . Dengan demikian, cita-cita luhur Pergerakan Taman Siswa diproyeksikan dalam membentuk karakter intelektual muda yang peka terhadap realitas sosial kemasyarakatan.

Baik Studie Club dan Taman Siswa hanya merupakan sebagian kecil wadah perjuangan kaum-kaum cendekiawan, namun cukup mengguncangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Beberapa pemimpin-pemimpin seringkali harus diganjar dengan hukuman penjara maupun pengasingan, karena gagasan-gagasan nasionalismedianggap mengganggu ketertiban umum. Hatta dan Syahrir dibuang ke kamp konsentrasi Tanah Merah Boven Digul pulau Papua, sedangkan Sukarno di Ende pulau Flores, sebab Belanda khawatir kalau pimpinan-pimpinan nasional ini tidak segera dihentikan gerakannya akan mengancam kekuasaan. Masa-masa pengasingan adalah masa sulit, namun tidak demikian bagi Sukarno, selama masa pengasingan ia dekat dengan para nelayan dan petani di Endeh. Sukarno menghimpun para petani kelapa dan nelayan Endeh yang buta huruf dalam kelompok seniman Teater Rakyat. Dimanapun Belanda memberikan hukuman pengasingan, disitulah pimpinan-pimpinan nasional berkarya dengan mendekatkan diri kepada rakyat.

Layaknya sebuah cerita usang, peran sejarah pimpinan-pimpinan nasional yang melahirkan tentang gagasan-gagasan dibidang pendidikan, kebudayaan dan nilai-nilai kebangsaan terenggut pusaran arus modernitas. Bahkan, pemerintahan sekarang telah mereduksi catatan-catatan sejarahnya sendiri. Dunia kampus seolah-olah menjadi lumpuh, ketika dihadapkan dengan arus mekanisme pasar.

Intelektual Dalam Arus Liberalisme

Ketimpangan sistem pendidikan sudah menjadi persoalan sebelum bangsa Indonesia merdeka. Keruntuhan Sistem Tanam Paksa (STP) pada th 1870 ditandai dengan arus liberalisme di Hindia Belanda, seiring itu pula Undang-Undang Pokok Agraria mengalami perubahan. Pihak swasta berhak mengelola, memanfaatkan dan menguasai sumbere-sumber ekonopmi yang sebagian berupa lahan pertanian dan perkebunan sebebas-bebasnya. Pada periode ini investasi asing mulai diberi keleluasaan di Hindia Belanda.
Sektor pendidikan sangat dibutuhkan, para pengusaha membutuhkan tenaga-tenaga administratif dalam mengembangkan usaha. Bersamaan dengan itu pula Undang-Undang tentang pendidikan yang pertama kali, disahkan pada th 1871 (endiq pratama; 1999). Sekolah dasar hingga sekolah tinggi mulai dibuka, para Bumi Putra memperolah kesempatan mengenyam pendidikan. Kepentingan pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah ini semata-mata hanya untuk mencetak intelektual-intelektual yang siap dilempar ke pasar tenaga kerja. Praktis tenaga-tenaga terdidik Bumi Putra hanya untuk mencukupi stock pegawai pemerintahan Belandadan karyawan perusahaan-perusahaan milik swasta. Namun sekolah ini hanya diperuntukkan para anak-anak bangsawan atau klas priyayi juga sedikit anak-anak keturunan Belanda, jadi anak petani dan rakyat jelata tidak diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan ini.

Krisis di level bawah mulai terjadi, petani penggarap dan buruh tani mulai tidak mampu membayar pajak berupa uang kepada pemerintah kolonial. Di lain pihak akumulasi keuntungan para pengusaha Belanda semakin berlipat ganda. Banyak para petani yang meninggalkan lahannya menjadi buruh-buruh di perusahaan Belanda, sedangkan para buruh petani yang tetap melunasi pajak akhirnya terjebak bujuk rayu rentenir, justru hal ini menambah penderitaan petani. Kondisi ini melahirkan protes di kalangan petani. Di Kerajaan Mataram misalnya, terdapat gerakan protes kaum tani yang disebut pepe (berjemur diri). Mereka datang berduyun-duyun ke alun-alun depan keraton. Gerakan ini sebenarnya merupakan demonstrasi massa untuk memprotes suatu keadaan dan mohon keputusan dari raja sendiri. Rakyat pedesaan melakukan gerakan ini, menurut Emmanuel Subangun, karena keraton Jawa tidak mempunyai jaringan birokrasi yang memungkinkan pusat kekuasaan menangkap aspirasi dan masalah rakyat pedesaan .

Situasi krisis yang disebabkan kebobrokan sistem pemerintahan Hindia Belanda melahirkan semangat nasionalisme di kalangan intelektual Bumi Putra. Pada tahun 1909 seorang jebolan OSVIA (sekolah pamong praja) bernama Tirtoadisoeryo, meninggalkan pekerjaannya dalam pemerintahan Hindia Belanda lalu menjadi pemimpin redaksi harian berbahasa Melayu, Medan Priyayi, sebuah harian yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Lalu di Jakarta Tirtoadisoeryo mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI), agar pedagang-pedagang pribumi mampu melawan pedagang-pedagang Tionghoa serta mendorong rakyat Hindia mampu beremansipasi dalam segi ekonomi (Imam Sujono: 2006). Walaupun sebagai keturunan klas priyayi, Tirtoadisoeryo dengan menggunakan Medan Priyayi mampu menelanjangi kebobrokan rezim kolonial. Peran media waktu itu ternyata mampu menggugah golongan terpelajar Bumi Putra lainnya, hingga pada tahun 1909 muncul organisasi-organisasi modern seperti Boedi Oetomo yang dipelopori Soetomo seorang mahasiswa STOVIA (sekolah tinggi kedokteran).
Ada dua hal yang dapat kita simpulkan mengenai catatan diatas; pertama, pemerintah kolonial medirikan sekolah yang diperuntukkan warga pribumi hanya sebagai bentuk kompromi (politik etis) karena telah mengeksploitasi sumber-sumber agraria karena liberalisme ekonomi yang dipraktekkan pemerintah Hindia. Pendidikan juga bagian dari investasi, selain untuk mencetak tenaga-tenaga administrasi di perusahaan-perusahaan dan pemerintahan, rata-rata mereka yang telah memperoleh akses terhadap pendidikan yakni klas atas seperti priyayi, bangsawan dan keturunan Belanda. Yang kedua, pendidikan kolonial kenyataannya telah melahirkan pemikir-pemikir pergerakan nasional. Penderitaan rakyat dan kekejaman kolonialisme mampu mendorong kepekaan intelektual kaum terpelajar, selanjutnya mendorong munculnya konsep nasionalisme sebagai pilar perjuangan kemerdekaan.

Kondisi pendidikan sekarang sebenarnya tidak jauh beda, biaya kuliah mahal akhirnya menelantarkan akses si miskin terhadap sekolah yang layak. Privatisasi kampus, menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional dan memburuknya sistem pelayanan pendidikan negeri adalah fenomena pergerakan liberalisme dalam bidang pendidikan. Mampukah dunia pendidikan sekarang memproduksi kaum-kaum intelektual yang peka terhadap problem sosial?

Mahasiswa Bagaimana Seharusnya

Sejak zaman kolonial hingga terbentuknya republik ini, sejarah intelektual Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konflik penguasaan sumber daya alam yang ekonomis (Bambang Prakoso; 2008). Rezim kolonial selama berabad-abad menguras sumber-sumber kekayaan alam, selain itu kolonialisme juga memeras tenaga rakyat dengan kerja paksa. Warga negara telah mengabdikan tenaganya dalam waktu yang sangat lama untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran tertentu: pemerasan tenaga kerja, hukuman fisik, pemberian gaji yang tidak adil, hak berpolitik yang dibatasi (Frantz Fanon: 2000).

Peran intelektual yang demikian mengukuhkan legitimasi atas bangsanya selama penindasan berlangsung. Label kaum intelektual muda selalu dilekatkan kepada mereka yang menanamkan dirinya mahasiswa. Lalu mengapa demikian? Rasa-rasanya sebutan mahasiswa adalah kaum intelektual masih asing banget di telinga, apalagi untuk dipahami hakekat sebutan tersebut. kenyataannya berbagai kalangan menyematkan identitas mahasiswa identik dengan kaum intelektual muda. Padahal yang bisa dipahami saat ini ketika mulai mendaftarkan diri di universitas, sudah ada pengertian sebelumnya. Melalui orang tua, saudara, teman dan handai taulan yang lain memberikan petuah, apa tugas-tugas utama selama di bangku kuliah dan apa yang meski kita gapai setelah lulus nanti. Dan jawabannya adalah belajar dengan tekun sehingga dapat lulus cepat dengan Indeks Prestasi dimungkinkan bisa mendapat pekerjaan yang layak. Pada dasarnya jawaban tersebut benar adanya, bahkan umumnya semua mahasiswa meng-idealisasi-kan cita-cita seperti itu.

Kenyataannya sungguh di luar yang diperkirakan, dari data tahun 2006 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 70 % dari total angkatan kerja sebesar 110 juta orang. Disini 50 % jumlah penganggur mereka yang termasuk kategori angkatan muda (17-30 tahun), dari angka ini sudah termasuk didalamnya mahasiswa.

Dalam peristiwa revolusi nasional di Aljazair, Fanon menjelaskan kebangkitan kaum intelektual pribumi yang bertekad melawan kebohongan kolonial, berjuang di daratan diseluruh benua . Dalam membaca kembali mandat gerakan (Jurnal benang merah), Bambang memberi pertanyaan simpul persoalan negeri ini. Berapa banyak darah rakyat yang tertumpah akibat penjajahan modal dan penjajahan politik kaum kolonial asing? Disinilah peran sejarah mahasiswa akan diusik kembali pada setiap peradaban, saat ini dan yang akan datang.

(Fx. Sugiyanto, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Surakarta Santo Paulus periode 2007-2008)

KETAKUTAN SOSIAL DAN BAGAIMANA KAUM MUDA MENJAWABNYA

Sekarang ini kita hidup dalam sebuah negara yang dikuasai oleh rasa takut. Rasa takut ini masuk ke hampir seluruh segi-segi kehidupan, di dalam segi politik yang diberitakan di berbagai media informasi misalnya, sering kita melihat kerusuhan yang terjadi karena tidak menerima kekalahan dalam usaha untuk menjadi seorang pemimpin, pihak yang kalah akan mengerahkan massa pendukungnya dan melakukan aksi protes yang berujung pada pengrusakan baik fasilitas umum maupun fasilitas pribadi, contoh lainnya adalah di Ponorogo ada seorang pengusaha yang mencalonkan diri menjadi calon bupati dan gagal kemudian dia menjadi gila, dan dari sini terungkap bahwa untuk mencalonkan tersebut dia telah setor banyak uang ke partai yang mengusungnya dan setelah gagal uang itu tidak kembali, semua hartanya habis, dia bercerai dengan istrinya.

Di dalam kehidupan ekonomi ketakutan juga telah masuk dimulai dari kebutuhan dasar manusia yaitu makanan, harga bahan pangan pokok sudah kita ketahui sangat mahal, sudah mahal tidak terjamin kesehatannya di televisi sering kita melihat makanan yang dicampur dengan zat-zat tertentu supaya terlihat menarik padahal zat-zat tersebut berbahaya bagi tubuh. Gagal panen juga dialami oleh petani setelah mereka menanam benih padi yang direkomendasikan pemerintah ternyata setelah tumbuh tanaman padi itu tidak berisi dan menangislah para petani itu karena hanya untuk biaya menanam dan merawat padi itu mereka sudah mengeluarkan biaya yang sangat besar, ditambah lagi waktu mereka yang terbuang sia-sia karena pada akhirnya gagal panen.


Masalah ekonomi yang lain adalah lemahnya daya beli masyarakat karena banyaknya pengangguran, gaji yang sedikit, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Dua sektor telah kita selami sekarang kita masuk ke masalah-masalah sosial yang sebenarnya ada hubungannya dengan masalah ekonomi bila teman-teman naik kendaraan tepat pada saat lampu merah akan terlihat anak-anak jalanan yang mengamen, mengemis.


Demikian juga kalau teman-teman pernah naik angkutan kelas ekonomi baik itu bus maupun kereta api pemandangan itu juga terlihat bahkan semakin parah, ketika saya masih SMP dulu saat hendak pergi ke Yogyakarta naik bus ekonomi, dari Semarang ke Jogya hanya ada satu orang pengamen. Tetapi sekarang hampir tiap lima menit pengamen itu selalu ada. Masalah sosial yang lain adalah gelandangan, dan kaum miskin perkotaan yang dapat kita jumpai di kota lama semarang denan standar hidup yang rendah, rumah dari terpal, dan lingkungan yang kotor. Kriminalitas yang setiap hari selalu ada dari pencurian, pembunuhan, penculikan dsb yang bermuara pada satu hal yaitu lemahnya ekonomi.


Semua masalah di atas bila hendak dicari cara untuk mengatasinya adalah pendidikan, karena di dalamnya akan diberikan kemampuan kognitif yang berguna untuk terjun di masyarakat. Tetapi rasa ketakutan itu ternyata juga telah masuk ke dalam dunia pendidikan.


Yang pertama kita bahas di sini adalah sistem ujian nasional. Ujian nasional menjadi masalah tersendiri karena begitu sistem ini diterapkan siswa dan guru terutama pada saat tingkat akhir akan sangat kelelahan dibuatnya, sekolah yang seharusnya menjadi ruang belajar yang penuh dengan kegembiraan, diskusi, dan penelitian ilmiah di sihir menjadi lembaga bimbingan belajar yang setiap hari dari jam tujuh pagi sampai jam setengah dua siang kerjaannya hanya latihan mengerjakan soal. Karena baik guru dan murid akan berpendapat buat apa kita melakukan diskusi, penelitian kalau nantinya murid-murid tidak lulus.


Hal ini membuat pendidikan kita hanya menekankan pada hasil bukan prosesnya. Dan setelah pengumuman kelulusan ada banyak tangisan kekecewaan dari murid yang tidak lulus dan dari guru yang sebagian besar muridnya tidak lulus, bahkan ada beberapa yang nekat bunuh diri karena tidak kuat menahan rasa malu. Coba kita lihat di Negara tetangga yaitu China, bahkan di negara komunis yang tersentralpun pada tahun 1999 telah mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan oleh ujian yang dibuat oleh biro pendidikan negara, karena pada dokumen Komisi Pendidikan Nasional China tahun 1997 menyebutkan beberapa akibat buruk dari praktek pendidikan semacam itu yaitu penekanan berlebihan pada persiapan menghadapi tes, kurangnya pendidikan moral, sosial, dan emosional, dan fisik, model pelajaran yang mengandalkan daya hafalan dan drill soal mekanis, minimnya keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar dan hilangnya kreativitas (Benediktus Widi Nugroho dalam Basis edisi Juli-Agustus 2008, hal 38-43). Sudah ada pengalaman dari negara maju tetapi negara kita masih nekat juga memakai sistem ini. Selain itu sudah bukan rahasia lagi bahwa biaya sekolah di Indonesia sangat mahal, kalau sudah semahal itu bagaimana rakyat miskin bisa menyekolahkan anaknya. Yang bisa sekolah hanyalah anak-anak orang kaya saja sehingga sekolah telah menciptakan makin lebarnya kesenjangan sosial yang ada (Haryatmoko dalam Basis edisi Juli-Agustus 2008, hal 12-22).


Bila mempelajari sejarah setiap bangsa negara di dunia pastilah mengalami fase-fase kegelapan seperti yang dialami Indonesia, hanya saja kalau kita tidak segera melakukan tindakan bisa jadi kelak Indonesia hanya tinggal nama saja atau hilang dalam peta internasional.


Kaum muda memiliki kekuatan fisik yang prima, juga kemampuan berfikir yang baik, apalagi mahasiswa yang dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan yang ada serta akses pada beberapa fasilitas publik yang ada, sehingga tugas untuk menghilangkan semua rasa takut yang menghinggapi Indonesia ini ada pada kaum muda. Tetapi yang jadi pertanyaan apakah generasi muda sekarang rata-rata lebih cerdas lebih suka berkorban dalam solidaritas sosial dengan yang dina dan yang termiskin dari rakyat miskin bila dibanding dengan rekan-rekan seumur mereka dulu dari generasi Soekarno-Hatta di zaman Hindia Belanda? Pertanyaan itu diungkapkan oleh almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya dalam bukunya ”Merintis RI Yang Manusiawi”, yang tentunya kita tahu bahwa beliau tidak hanya mengkritik tanpa suatu usaha, karena keberpihakannya kepada yang miskin, lemah, tertindas sangat terlihat dalam usahanya membangun masyarakat di Kali Code Yogyakarta dan tinggal di tengah-tengah mereka.


Artinya sebagai kaum muda minimal kita harus peka terhadap setiap permasalahan sosial yang ada, untuk kemudian menggunakan segenap kemampuannya yang dia peroleh saat pendidikan untuk membangun masyarakatnya, yang dimaksud membangun di sini bukanlah membangun berdasarkan prestasi fisik, tetapi membangun demi terciptanya keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati.


(Lukas Wahyu W)

Sabtu, 08 November 2008

PRAKTEK IMAN KATOLIK DALAM HIDUP KESEHARIAN: belajar dari pengalaman Teologi Pembebasan

Dalam praktek keseharian hidup beriman, sering kita memberikan porsi lebih besar terhadap setiap upaya penghayatan iman Katolik yang kita yakini. Berbagai acara pendalaman iman, Ekaristi, persekutuan doa, hingga ibadat lingkungan sering kita ikuti guna lebih meningkatkan kadar keimanan kita akan Allah. Bahkan terkadang kita tidak sempat memikirkan satu hal yang tak kalah pentingnya, yakni perwujudan akan iman Katolik yang sebenarnya juga menjadi tanggungjawab kita.


Perwujudan iman haruslah tidak terlepas dari kondisi masya
rakat yang saat ini tengah terjadi. Ini diperlukan guna mewujudkan iman Kristiani secara kontekstual.


Ada baiknya jika kita belajar dari praktek Teologi Pembebasan di Amerika Latin
guna memberikan sedikit gambaran salah satu dari sekian banyak contoh praktek perwujudan iman Kristiani secara kontekstual.


Situasi masyarakat di Amerika Latin mengalami b
anyak kemunduran sejak diberlakukannya industrialisasi dibawah arahan modal multinasional mulai tahun 1950-an. Kemiskinan menjadi hal yang akrab dalam kehidupan keseharian. Ketergantungan negara terhadap negara donor kian tinggi, sementara di tingkat masyarakat pertentangan sosial kian dalam. Urbanisasi tinggi memicu pertumbuhan kota-kota besar sehingga menciptakan pemusatan kaum buruh baru dan membengkakkan jumlah kaum miskin kota.


Dibawah penindasan penguasa diktator serta pengaruh Revolusi Kuba 1959, upaya para petugas awam Gereja (dan beberapa anggota lembaga kepastoran) yang aktif di kalangan mahasiswa, kelompok kerukunan rumah tangga, serikat buruh perkotaan dan pedesaan, serta kelompok masyarakat basis mencoba membangun perlawanan dengan tujuan akhir mengubah kehidupan sosial ke arah yang lebih baik.



Mereka menggunakan berbagai cara, mulai dari mempengaruhi para Uskup sampai melibatkan diri secara aktif dalam gerakan rakyat jelata, termasuk perang gerilya. Sekitar 157 ribu orang penganut beberapa tarekat seperti Yesuit, Dominikan, Fransiskan, Maryknoll, Capuchin, dan beberapa tarekat perempuan bergabung dalam gerakan orang Katolik awam seperti Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Katolik, Aksi Katolik, gerakan pendidikan masyarakat akar rumput (Brazilia), gerakan menuntut pembagian tanah (Nikaragua), Federasi Petani Kristen (El Salvador), dan gerakan masyarakat basis lainnya. Bahkan pilihan gerakan yang lebih radikal pun dilakukan dengan mendukung kaum gerilyawan, seperti kelompok gerilya Aksi Pembebasan Nasional (Brazil), Tentara Pembebasan Nasional/ELN (Kolombia), dan Front Sandinista untuk Pembebasan Nasional/FSLN (Nikaragua).



Sementara kondisi internal Gereja yang mengalami perubahan, diantaranya perkembangan aliran
teologis baru pasca Perang Dunia II, perkembangan bentuk baru ajaran sosial Kristen (romo kaum buruh, dll), terbukanya Gereja terhadap kajian filsafat dan ilmu sosial modern, sampai adanya Konsili Vatikan II (1962-1965) serta Konferensi Medellin (1968) di Kolombia semakin membuat Gereja “tidak berdaya” terhadap suatu kewajiban untuk berpihak kepada korban penindasan dan ketidakadilan.



Walaupun mendapat tekanan keras dari beberapa kalangan internal Gereja, namun upaya Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves Carlos Mesters, Hugo Assmann, Leonardo Boff, Frei Betto (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Juan Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay), dan ratusan ribu rohaniwan lain beserta umat Katolik lainnya tak kunjung padam. Mereka terus berusaha membangun apa yang mereka istilahkan “Gereja Orang Miskin”, yakni suatu kondisi dimana Gereja Katolik berpihak pada orang miskin dan tertindas, bukan sebaliknya menghamba kepada penguasa.



Bahkan terbunuhnya Romo Camillo Torres dan Romo Gaspar Garcia Laviana dalam perang gerilya di Kolombia dan Nikaragua, diperkosa dan dibunuhnya suster tarekat Mayknoll, hingga tertembaknya Mgr. Oscar Romero karena khotbahnya yang mengutuk penguasa militer serta menyerukan pembangkangan bagi tentara El Salvador ternyata tidak menyurutkan semangat mereka yang berniat menafsirkan ulang iman Kristiani sekaligus mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Dari sedikit cerita diatas, tidak dapat disangkal lagi bahwa telah tiba saatnya kini kita sebagai mahasiswa Katolik Indonesia turut serta ambil bagian secara aktif guna mewujudkan perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Semangat Teologi Pembebasan di Amerika Latin kiranya dapat membantu kita untuk terus memelihara rasa keberpihakan kita pada kaum lemah, miskin, tertindas yang disingkirkan oleh tatanan sosial, ekonomi, politik yang tidak adil. Ilmu pengetahuan yang kita miliki haruslah kita abdikan guna mewujudkan kesejahteraan untuk masyarakat luas. Seperti halnya Yesus yang juga berjuang melawan berbagai penindasan yang terjadi di zamannya, kiranya semangat itulah yang mendasari langkah kita bersama mewujudkan iman Kristiani yang benar-benar nyata dan relevan dengan situasi sekarang.


Strategi atau metode yang kita pilih tentu haruslah didasarkan pada kondisi masyarakat saat ini. Yang penting adalah persatuan dan kebersamaan yang selalu harus kita jaga dan dikembangkan, karena hal itu akan semakin memperkuat setiap usaha yang kita lakukan.


Gustavo Gutierrez (1973) mengartikan pembebasan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik; pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia; pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sehingga Gutierrez merumuskan Teologi Pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda. Sedangkan Leonardo Boff (1974) menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindas ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup politik, ekonomi dan kulturalnya (http: //lulukpr.multiply.com/)


Pemahaman iman Kristini memang penting, namun itu semua belum cukup. Bagaimana iman Kristiani yang kita yakini mampu mendasari usaha kita dalam mendorong terjadinya perubahan sosial tak kalah pentingnya. Kondisi Amerika Latin pada masa Teologi Pembebasan tak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Saat inilah iman Kristiani kita tengah diuji. Mampukah kita, sebagai mahasiswa Katolik, bersama dengan kelompok masyarakat tertindas lainnya mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini?. Bukankah hal tersebut adalah cita-cita kita semua?.


Beberapa kelompok umat Katolik telah berusaha mewujudkannya. Pun halnya dengan Rm. Y. B. Mangunwijaya dengan keterlibatannya dalam berbagai persoalan sosial. Sampai kapan mahasiswa Katolik, baik secara individu maupun kelompok, terus berdiam diri sementara tuntutan akan perubahan kian bergema? Salam Damai dalam Kasih Yesus Kristus. Berkah Dalem. (Agustinus Ariawan).

Kamis, 06 November 2008

Tantangan Gerakan Sosial ke Depan

Sebuah Pengantar Singkat

Hugo Chavez Frias pernah mengemukakan analisa singkat, tetapi tajam. Kira-kira bunyinya begini: "Bila ingin mengentaskan kemiskinan, berilah kepada si miskin kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan modal."


Apa yang hendak disampaikan oleh Chavez sebenarnya adalah kemiskinan disebabkan oleh tersingkirnya si miskin dari akses atas kekuasaan, akses ilmu pengetahuan dan akses terhadap modal. Ungkapannya adalah sekaligus penegasan bahwa kemiskinan bukan suatu fenomena yang ada dengan sendirinya, layaknya dalam dongeng yang menceritakan tentang bahagianya kaum bangsawan sebagai keturunan para Dewa dalam kegelimangan harta, sementara rakyat jelata keturunan manusia biasa, hanya bisa hidup menghamba. Ungkapannya sekaligus juga menunjukkan ada system sosial yang timpang dan cacat.


Sebenarnya ungkapan analitik dari Chavez di atas bukanlah suatu hal yang baru. Bila di masa sekarang Chavez getol mengkritik strategi kebijakan neoliberalisme yang menggilas rakyat kecil, beberapa decade yang lalu telah ada barisan intelektual yang mengkritik strategi kebijakan developmentalisme yang mandul dalam mengentaskan kemiskinan. Apapun strateginya, entah developmentalisme ataupun neoliberalisme, pada dasarnya menjalankan bentuk strategi yang sama. Sama-sama mengimani kredo trickle down effect, yang percaya bahwa peningkatan kesejahteraan pada segelintir orang akan meneteskan bulir-bulir kesejahteraan yang akan dinikmati orang banyak.


Juga, sama-sama menjadikan kota (urban) sebagai pusat bisnis dan pembangunan, dengan demikian daerah-daerah pinggiran (sub urban) dan desa (rural) akan berkembang sesuai tumbuh dan berkembangnya kota sebagai pusat kegiatan bisnis. Sudah saatnya kita menyadarkan diri dan dunia, bahwa strategi developmentalisme ataupun neoliberalisme GAGAL TOTAL ! OMONG KOSONG !


Kita bisa memelototi data-data dan fakta-fakta kemiskinan yang jumlahnya semakin berkembang tidak terkendali dari tahun ke tahun. Telah banyak diulas bahwa sekitar 200-an perusahaan raksasa, memegang lebih dari 70 % kekayaan dunia (kita bisa bayangkan hanya tersisa 30% kekayaan dunia untuk umat manusia di dunia yang tidak termasuk kelompok 200-an perusahaan raksasa tersebut).


Di Indonesia sendiri, data BPS maupun dinas pertanian pada tahun 2004, menunjukkan lebih dari 60% orang miskin di Indoensia terdapat di pedesaan. Ini menunjukkan bahwa sistem sosial yang ada di negara kita ini turut melanggengkan kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh sekelompok kecil saja, bahkan sering dengan gaya hidup yang memuakkan. Begitupun juga, menjadikan desa-desa sebagai kantong-kantong kemiskinan yang memang sengaja diabaikan, bahkan sengaja dihisap untuk kepentingan bisnis di perkotaan, metropolitan atau megapolitan.


Sebagai solusi bagi perubahan sosial di Indonesia, ada baiknya bila kita berpaling pada desa sebagai basis perubahan. Sekaligus sebagai upaya membalikkan strategi kebijakan pembangunan, yang secara sistematis menyingkirkan desa. Mengambil dari apa yang diungkapkan Chavez, perlu kita pikirkan bagaimana membangun kedaulatan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi desa yang selama ini tersingkirkan.

Banyak kalangan berpendapat bahwa desa adalah simbol ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan. Bahkan pembawa acara sekaliber Tukul Arwana kerap kali menjadikan olok-olok "wong ndeso" sebagai senjata andalannya. Walaupun masih ada tokoh seperti Garin Nugroho yang mengkritik keras banyolan bergaya Tukul Arwana seperti itu, toh olok-olok "wong ndeso" masih laris manis. Demikian pula stigma bahwa orang desa itu bodoh, malas, sukar untuk diajak maju, dan ketinggalan jaman masih melekat dalam benak kebanyakan orang.

Tidak hanya di kalangan umum, kalangan akademis juga bertanggung jawab dalam reproduksi stigma terhadap orang-orang desa. Adalah ilmuwan sosial penganut aliran fungsionalisme yang mempunyai kesimpulan negatif terhadap fenomena ketertinggalan masyarakat desa. Kesimpulan mereka di antaranya menyatakan bahwa keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan adalah akibat :
-sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi,
-sulitnya untuk menerima teknologi baru,
-malas,
-tidak mempunyai motivasi yang kuat.

Hampir senada dengan yang disebutkan di atas, berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat tani di Jawa, Clifford Geertz menambahkan kesimpulannya terhadap keterbelakangan masyarakat tani di pedesaan Jawa adalah karena :
- merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan pokok yang paling dasar)
- budaya shared poverty (berbagi kemiskinan bersama)

Tentunya dengan pandangan dan kesimpulan seperti itu, para ilmuwan dan kaum cendekiawan semacam Clifford Geertz, menganggap bahwa masyarakat desa, khususnya tani di pedesaan, mengalami masa involutif (tidak berkembang, menuju kepunahan). Sangat bertolak belakang dengan budaya Barat yang dominan akan need for achievement (kebutuhan akan prestasi/pencapaian)

Kita tidak bisa sepenuhnya menyangkal kesimpulan Clifford Geertz atau para ilmuwan fungsional yang lain, akan tetapi kita bisa menunjukkan titik kelemahan pada analisa mereka. Kelemahan terbesar yang melekat pada aliran fungsional adalah pengabaiannya pada: sejarah perkembangan masyarakat dan struktur sosial yang ada dari masa ke masa.

Para pengkritik aliran fungsionalisme menyebutkan bahwa mereka hanya melihat masyarakat desa dalam ruang yang hampa. Seakan-akan lepas dari interaksi, dominasi, penaklukan dari struktur sosial yang lebih luas. Saya tidak yakin ilmuwan sekaliber Clifford Geertz, tidak menguasai tentang sejarah kekuasaan kolonial Belanda di tanah air ataupun sejarah kekuasaan kaum feodal, penguasa tanah pribumi.........

Saya tidak yakin bahwa kepiawaian mereka dalam merumuskan teori, tidak membuat mereka mampu melihat struktur sosial semacam apa yang sedang bekerja, yang mengakibatkan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa.........

Malah bisa jadi mereka mengabaikannya...........
Mari kita buka kembali lembaran sejarah pedesaan di tanah air.............

Pada awal abad ke-19, Sistem Tanam Paksa diterapkan di tanah air oleh penguasa kolonial Belanda. Petani dipaksa oleh penguasa untuk menanam tanaman perdagangan (seperti kopi, kapas, tebu, dll) pada hampir 2/3 lahan mereka. Akibatnya, pada musim kering, dan produksi tanaman pangan kian menipis terjadi kelaparan yang meluas. Sejarawan Sartono Kartodirjo mencatat ribuan pribumi mati kelaparan pada bencana kekeringan ini.

Pada masa Liberalisme awal diberlakukan pemerintah Hindia Belanda di tanah air, petani yang sebagian besar hidup di pedesaan diwajibkan menyerahkan tanahnya untuk disewa perkebunan-perkebunan Belanda. Paksaan, intimidasi dan kekerasan yang dilakukan melalui para pamong praja, lurah dan penguasa feodal pribumi membuat petani tak berkutik dan terpaksa menyerahkan tanahnya dengan harga sewa yang jauh dari layak. Akibatnya banyak masyarakat tani di pedesaan terjerat hutang pada saudagar-saudagar kaya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Banyak yang terjerembab menjadi buruh tani tuna tanah, atau menjual anak-anak gadis mereka untuk membayar hutang. Fakta ini banyak dicuplik dalam beberapa novel Pramoedya.

Pada tahun 1960-an, banyak buruh tani yang ditangkap, dipenjarakan, dibui dan dikriminalisasi karena menuntut proses percepatan pembagian tanah yang adil sesuai dengan UUPA tahun 1960.

Bahkan di desa Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah, ratusan hektar tanah yang telah lebih dari 30 tahun didiami, dirampas untuk dijadikan lahan perkebunan karet yang dikelola PTPN IX. Pada masa revolusi hijau diterapkan di Indonesia, banyak petani di pedesaan terjerat hutang pada kaum tengkulak, karena diharuskan, dipaksa, seringkali dengan intimidasi, untuk membeli bibit padi unggul yang sudah disediakan pemerintah, untuk membeli pupuk kimia pendukungnya yang harganya tidak murah, dan lain-lain....

Nah, maka benarlah apa yang telah diungkapkan oleh para pengkritik kaum fungsional, bahwa yang menjadi masalah pada keterbelakangan masyarakat pedesaan tidak melulu karena kemalasan, ketidakmauan untuk beradaptasi terhadap budaya modern atau ketidak mampuan menerapkan teknologi.......

akan tetapi yang utama adalah masalah penguasaan, penaklukan, exploitation de l'homme par l'homme (penghisapan manusia terhadap sesamanya)........

Nah, mulailah untuk melangkah, membenahi sejarah pedesaan yang telah carut marut...
Minimal dengan menghilangkan olok-olok "wong ndeso" sebagai kebodohan, kemalasan...
Ingatlah, mereka hanya korban,
dan visi misi kita yang mengharuskan berjuang untuk "wong ndeso" (orang desa)..

Justice and humanity ! Now !

Change ! Now Or Never !

Oleh: Bambang Prakoso (Anggota PMKRI Cabang Surakarta)

SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Weblog PMKRI Cabang Semarang St. Gregorius.