Rabu, 25 Februari 2009

BANJIR dan IRONI KAMPANYE PEMILU

(Yang Tersisa dari “Posko WMD untuk Korban Banjir di Semarang” – bagian pertama)

Bagai mengulang “tradisi” di tiap musim hujan, untuk kesekian kalinya beberapa wilayah di kota Semarang kembali tergenang banjir. Hujan deras yang mengguyur kota selama dua hari hampir tanpa jeda mengakibatkan air sungai meluap dan menggenangi beberapa wilayah langganan banjir, terutama di Semarang bagian bawah. Berbagai data lapangan di beberapa wilayah menyebutkan jika tinggi genangan air mencapai pinggang orang dewasa, bahkan ada yang mengklaim ketinggian air setinggi dada.

Kepedulian dari berbagai pihak terhadap para korban pun bermunculan. Pendirian berbagai posko serta penyaluran bantuan, seperti sembako dan obat-obatan, pun dilakukan. Semua demi meringankan beban mereka yang menjadi korban banjir. Banjir akibat hujan deras yang terjadi sejak tanggal 7 Februari 2009 itu memang dapat dikatakan lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Indikasinya jelas terlihat dari tinggi genangan serta jangka waktu genangan banjir tersebut yang lebih lama jika dibanding tahun lalu.

Dengan dukungan dari lembaga sosial, para rohaniwan rohaniwati, serta beberapa umat Katolik di Semarang, simpati kepada korban banjir di beberapa wilayah – seperti Muktiharjo Kidul, Sawah Besar, Mangkang Kulon, Dhadapsari, Tambakrejo, serta Kemijen – yang dirasakan para mahasiswa Katolik, anggota PMKRI dan Pemuda Katolik, serta beberapa pegiat mahasiswa yang sering beraktivitas di Wisma Mahasiswa Driyarkara dimanifestasikan dalam bentuk pendirian posko bersama untuk penyaluran bantuan yang dibutuhkan selama fase tanggap darurat. Tulisan ini adalah hasil refleksi pribadi atas keikutsertaan dalam kegiatan posko yang berlangsung sejak tanggal 8 – 12 Februari 2009.

Nuansa yang sedikit berbeda dapat ditemui di lokasi bencana banjir di Semarang kali ini. Hal tersebut disebabkan bertepatannya bencana dengan masa kampanye para calon anggota legislatif. “Banjir” poster, spanduk, pamflet para caleg serta bendera dari berbagai partai politik ternyata tak kalah seru jika dibandingkan dengan “banjir air” yang menggenang di bawahnya. Senyum manis para calon wakil rakyat itu nampak kontras jika dibanding senyum dan tawa getir para korban banjir yang nampak begitu mengharap bantuan dari para donatur.

“Kami hanya dapat jatah satu kilogram beras dan tiga bungkus mie instan, Mas”, kata seorang warga wilayah Muktiharjo Kidul yang ditemui di rumahnya, saat posko melakukan pendataan jumlah korban guna keperluan penyaluran bantuan. Warga tersebut juga menceritakan bahwa bantuan tersebut diberikan kepada tiap-tiap Kepala Keluarga (KK) di RW tempat tinggalnya.

Cerita yang lebih mencengangkan bahkan didapat dari salah satu warga lainnya. “Di daerah sini sebenarnya bermukim beberapa caleg, dari tingkat kota sampai propinsi. Kemarin saya sudah mendatangi rumahnya satu persatu. Namun anehnya, setiap saya datang dan minta bantuan, mereka selalu tidak berada di tempat”, ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa rata-rata kediaman para calon anggota legislatif itu selalu tertutup rapat dan ketika didatangi, hanya ditemui oleh pembantu rumah tangganya.

Kisah yang didapat langsung dari para korban tersebut ibarat sebuah ironi jika melihat banyaknya janji dan slogan yang diumbar oleh mereka yang memasang tampang manis dan senyum ramah dalam peraga kampanye yang bertebaran di pohaon, dinding, serta tiang listrik daerah tersebut. Bagaikan pepesan kosong, janji kesejahteraan bagi masyarakat itu nampaknya sudah mulai bisa diukur dengan minimnya kiprah mereka saat masyarakat benar-benar membutuhkan kepedulian dari banyak pihak. Benarkah jika mereka terpilih nantinya, mereka akan benar-benar mewujudkan apa yang dijanjikan pada hari ini?.

Pemilu sebagai mekanisme pergantian kekuasaan di negara modern memang harus disikapi secara cerdas. Partisipasi masyarakat dalam pemilu kian mengalami trend penurunan. Praktek politik yang masih mengedepankan “kemasan” daripada “isi” masih banyak terjadi. Sementara itu, peran parpol, sebagai kelompok politik, dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat hingga kini belum juga berjalan. Yang terjadi justru adalah “komodifikasi dan manipulasi” ekspektasi masyarakat terhadap perubahan itu sendiri.

Hal itu justru mendorong masyarakat kian apatis terhadap setiap penyelenggaraan pemilu, baik tingkat lokal maupun tingkat nasional. Tak heran jika kini pilihan terhadap golput kian nyaring terdengar di tingkat masyarakat. Walau terkadang disayangkan bahwa pilihan golput tersebut seringkali tidak diimbangi dengan tawaran alternatif solusi serta hanya cenderung kekecewaan emosional individu dan tidak terorganisir.

“Memilih” adalah hak setiap warga negara, pun sama halnya dengan “tidak memilih”. Namun pertanyaannya, apakah semua ini akan berhenti pada pilihan untuk “memilih” atau “golput” dalam pemilu besok?. Benarkah ini hanya sebatas tanggung jawab moral pribadi kita atas pilihan yang kita ambil saat pemilu kelak?

Yang jelas, baik golput maupun tidak, posisi kita sebagai warga negara tidaklah berubah. Kita tidak bakal kehilangan kesempatan untuk mengkritisi setiap kebijakan penguasa terpilih hanya karena kita golput.

Akhirnya, semoga kisah korban banjir di atas tidak dialami para korban banjir dan masyarakat umum di daerah lain. (Agustinus Ariawan).

Tidak ada komentar: