(Antonio Gramsci)
Sejarah menunjukkan, bahwa setiap peristiwa-peristiwa besar di dunia seperti revolusi, restorasi dan reformasi, kenyataannya telah aktor-aktor penting didalamnya. Adalah Sukarno, sewaktu muda (mahasiswa) sudah mulai aktif terlibat secara langsung dalam pergerakan nasional. Indonesia merdeka! Itulah cita-cita seluruh anak negeri selama mengalami kepahitan ratusan tahun dibawah cengkeraman penguasa Kolonial. Bagi para pemuda, pelajar dan mahasiswa masa kolonialisme, mengabdikan seluruh hidupnya bagi kemerdekaan rakyat nasional adalah sebuah tuntutan sejarah yang harus mereka jalani.
Bagi seorang Sukarno dan kaum intelektual lainnya seperti Hatta, Syahrir membentuk Studie Club , merupakan praktek nyata guna membumikan gagasan-gagasan intelektual ke ranah perjuangan. Hal yang sama, sebelumnya juga pernah dilakukan Pergerakan Tmana Siswa dibawah pimpinan Ki Hajar Dewantoro pada th 1921. Tujuan gerakan ini yakni, mengembangkan suatu sistem pendidikan yang mendasar pada suatu sintesa realistis dari kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Barat yang kelak bisa mendidik pemuda Indonesia untuk berdikari dan mengembangkan dalam diri mereka menyelesaikan masalah-masalah praktis yang mereka hadapi . Dengan demikian, cita-cita luhur Pergerakan Taman Siswa diproyeksikan dalam membentuk karakter intelektual muda yang peka terhadap realitas sosial kemasyarakatan.
Baik Studie Club dan Taman Siswa hanya merupakan sebagian kecil wadah perjuangan kaum-kaum cendekiawan, namun cukup mengguncangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Beberapa pemimpin-pemimpin seringkali harus diganjar dengan hukuman penjara maupun pengasingan, karena gagasan-gagasan nasionalismedianggap mengganggu ketertiban umum. Hatta dan Syahrir dibuang ke kamp konsentrasi Tanah Merah Boven Digul pulau Papua, sedangkan Sukarno di Ende pulau Flores, sebab Belanda khawatir kalau pimpinan-pimpinan nasional ini tidak segera dihentikan gerakannya akan mengancam kekuasaan. Masa-masa pengasingan adalah masa sulit, namun tidak demikian bagi Sukarno, selama masa pengasingan ia dekat dengan para nelayan dan petani di Endeh. Sukarno menghimpun para petani kelapa dan nelayan Endeh yang buta huruf dalam kelompok seniman Teater Rakyat. Dimanapun Belanda memberikan hukuman pengasingan, disitulah pimpinan-pimpinan nasional berkarya dengan mendekatkan diri kepada rakyat.
Layaknya sebuah cerita usang, peran sejarah pimpinan-pimpinan nasional yang melahirkan tentang gagasan-gagasan dibidang pendidikan, kebudayaan dan nilai-nilai kebangsaan terenggut pusaran arus modernitas. Bahkan, pemerintahan sekarang telah mereduksi catatan-catatan sejarahnya sendiri. Dunia kampus seolah-olah menjadi lumpuh, ketika dihadapkan dengan arus mekanisme pasar.
Intelektual Dalam Arus Liberalisme
Ketimpangan sistem pendidikan sudah menjadi persoalan sebelum bangsa Indonesia merdeka. Keruntuhan Sistem Tanam Paksa (STP) pada th 1870 ditandai dengan arus liberalisme di Hindia Belanda, seiring itu pula Undang-Undang Pokok Agraria mengalami perubahan. Pihak swasta berhak mengelola, memanfaatkan dan menguasai sumbere-sumber ekonopmi yang sebagian berupa lahan pertanian dan perkebunan sebebas-bebasnya. Pada periode ini investasi asing mulai diberi keleluasaan di Hindia Belanda.
Sektor pendidikan sangat dibutuhkan, para pengusaha membutuhkan tenaga-tenaga administratif dalam mengembangkan usaha. Bersamaan dengan itu pula Undang-Undang tentang pendidikan yang pertama kali, disahkan pada th 1871 (endiq pratama; 1999). Sekolah dasar hingga sekolah tinggi mulai dibuka, para Bumi Putra memperolah kesempatan mengenyam pendidikan. Kepentingan pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah ini semata-mata hanya untuk mencetak intelektual-intelektual yang siap dilempar ke pasar tenaga kerja. Praktis tenaga-tenaga terdidik Bumi Putra hanya untuk mencukupi stock pegawai pemerintahan Belandadan karyawan perusahaan-perusahaan milik swasta. Namun sekolah ini hanya diperuntukkan para anak-anak bangsawan atau klas priyayi juga sedikit anak-anak keturunan Belanda, jadi anak petani dan rakyat jelata tidak diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan ini.
Krisis di level bawah mulai terjadi, petani penggarap dan buruh tani mulai tidak mampu membayar pajak berupa uang kepada pemerintah kolonial. Di lain pihak akumulasi keuntungan para pengusaha Belanda semakin berlipat ganda. Banyak para petani yang meninggalkan lahannya menjadi buruh-buruh di perusahaan Belanda, sedangkan para buruh petani yang tetap melunasi pajak akhirnya terjebak bujuk rayu rentenir, justru hal ini menambah penderitaan petani. Kondisi ini melahirkan protes di kalangan petani. Di Kerajaan Mataram misalnya, terdapat gerakan protes kaum tani yang disebut pepe (berjemur diri). Mereka datang berduyun-duyun ke alun-alun depan keraton. Gerakan ini sebenarnya merupakan demonstrasi massa untuk memprotes suatu keadaan dan mohon keputusan dari raja sendiri. Rakyat pedesaan melakukan gerakan ini, menurut Emmanuel Subangun, karena keraton Jawa tidak mempunyai jaringan birokrasi yang memungkinkan pusat kekuasaan menangkap aspirasi dan masalah rakyat pedesaan .
Situasi krisis yang disebabkan kebobrokan sistem pemerintahan Hindia Belanda melahirkan semangat nasionalisme di kalangan intelektual Bumi Putra. Pada tahun 1909 seorang jebolan OSVIA (sekolah pamong praja) bernama Tirtoadisoeryo, meninggalkan pekerjaannya dalam pemerintahan Hindia Belanda lalu menjadi pemimpin redaksi harian berbahasa Melayu, Medan Priyayi, sebuah harian yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Lalu di Jakarta Tirtoadisoeryo mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI), agar pedagang-pedagang pribumi mampu melawan pedagang-pedagang Tionghoa serta mendorong rakyat Hindia mampu beremansipasi dalam segi ekonomi (Imam Sujono: 2006). Walaupun sebagai keturunan klas priyayi, Tirtoadisoeryo dengan menggunakan Medan Priyayi mampu menelanjangi kebobrokan rezim kolonial. Peran media waktu itu ternyata mampu menggugah golongan terpelajar Bumi Putra lainnya, hingga pada tahun 1909 muncul organisasi-organisasi modern seperti Boedi Oetomo yang dipelopori Soetomo seorang mahasiswa STOVIA (sekolah tinggi kedokteran).
Ada dua hal yang dapat kita simpulkan mengenai catatan diatas; pertama, pemerintah kolonial medirikan sekolah yang diperuntukkan warga pribumi hanya sebagai bentuk kompromi (politik etis) karena telah mengeksploitasi sumber-sumber agraria karena liberalisme ekonomi yang dipraktekkan pemerintah Hindia. Pendidikan juga bagian dari investasi, selain untuk mencetak tenaga-tenaga administrasi di perusahaan-perusahaan dan pemerintahan, rata-rata mereka yang telah memperoleh akses terhadap pendidikan yakni klas atas seperti priyayi, bangsawan dan keturunan Belanda. Yang kedua, pendidikan kolonial kenyataannya telah melahirkan pemikir-pemikir pergerakan nasional. Penderitaan rakyat dan kekejaman kolonialisme mampu mendorong kepekaan intelektual kaum terpelajar, selanjutnya mendorong munculnya konsep nasionalisme sebagai pilar perjuangan kemerdekaan.
Kondisi pendidikan sekarang sebenarnya tidak jauh beda, biaya kuliah mahal akhirnya menelantarkan akses si miskin terhadap sekolah yang layak. Privatisasi kampus, menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional dan memburuknya sistem pelayanan pendidikan negeri adalah fenomena pergerakan liberalisme dalam bidang pendidikan. Mampukah dunia pendidikan sekarang memproduksi kaum-kaum intelektual yang peka terhadap problem sosial?
Mahasiswa Bagaimana Seharusnya
Sejak zaman kolonial hingga terbentuknya republik ini, sejarah intelektual Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konflik penguasaan sumber daya alam yang ekonomis (Bambang Prakoso; 2008). Rezim kolonial selama berabad-abad menguras sumber-sumber kekayaan alam, selain itu kolonialisme juga memeras tenaga rakyat dengan kerja paksa. Warga negara telah mengabdikan tenaganya dalam waktu yang sangat lama untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran tertentu: pemerasan tenaga kerja, hukuman fisik, pemberian gaji yang tidak adil, hak berpolitik yang dibatasi (Frantz Fanon: 2000).
Peran intelektual yang demikian mengukuhkan legitimasi atas bangsanya selama penindasan berlangsung. Label kaum intelektual muda selalu dilekatkan kepada mereka yang menanamkan dirinya mahasiswa. Lalu mengapa demikian? Rasa-rasanya sebutan mahasiswa adalah kaum intelektual masih asing banget di telinga, apalagi untuk dipahami hakekat sebutan tersebut. kenyataannya berbagai kalangan menyematkan identitas mahasiswa identik dengan kaum intelektual muda. Padahal yang bisa dipahami saat ini ketika mulai mendaftarkan diri di universitas, sudah ada pengertian sebelumnya. Melalui orang tua, saudara, teman dan handai taulan yang lain memberikan petuah, apa tugas-tugas utama selama di bangku kuliah dan apa yang meski kita gapai setelah lulus nanti. Dan jawabannya adalah belajar dengan tekun sehingga dapat lulus cepat dengan Indeks Prestasi dimungkinkan bisa mendapat pekerjaan yang layak. Pada dasarnya jawaban tersebut benar adanya, bahkan umumnya semua mahasiswa meng-idealisasi-kan cita-cita seperti itu.
Kenyataannya sungguh di luar yang diperkirakan, dari data tahun 2006 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 70 % dari total angkatan kerja sebesar 110 juta orang. Disini 50 % jumlah penganggur mereka yang termasuk kategori angkatan muda (17-30 tahun), dari angka ini sudah termasuk didalamnya mahasiswa.

(Fx. Sugiyanto, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Surakarta Santo Paulus periode 2007-2008)
1 komentar:
PMKRI IS DEBEZ............
Posting Komentar