
Perwujudan iman haruslah tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang saat ini tengah terjadi. Ini diperlukan guna mewujudkan iman Kristiani secara kontekstual.
Ada baiknya jika kita belajar dari praktek Teologi Pembebasan di Amerika Latin guna memberikan sedikit gambaran salah satu dari sekian banyak contoh praktek perwujudan iman Kristiani secara kontekstual.
Situasi masyarakat di Amerika Latin mengalami banyak kemunduran sejak diberlakukannya industrialisasi

Dibawah penindasan penguasa diktator serta pengaruh Revolusi Kuba 1959, upaya para petugas awam Gereja (dan beberapa anggota lembaga kepastoran) yang aktif di kalangan mahasiswa, kelompok kerukunan rumah tangga, serikat buruh perkotaan dan pedesaan, serta kelompok masyarakat basis mencoba membangun perlawanan dengan tujuan akhir mengubah kehidupan sosial ke arah yang lebih baik.
Mereka menggunakan berbagai cara, mulai dari mempengaruhi para Uskup sampai melibatkan diri secara aktif dalam gerakan rakyat jelata, termasuk perang gerilya. Sekitar 157 ribu orang penganut beberapa tarekat seperti Yesuit, Dominikan, Fransiskan, Maryknoll, Capuchin, dan beberapa tarekat perempuan bergabung dalam gerakan orang Katolik awam seperti Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Katolik, Aksi Katolik, gerakan pendidikan masyarakat akar rumput (Brazilia), gerakan menuntut pembagian tanah (Nikaragua), Federasi Petani Kristen (El Salvador), dan gerakan masyarakat basis lainnya. Bahkan pilihan gerakan yang lebih radikal pun dilakukan dengan mendukung kaum gerilyawan, seperti kelompok gerilya Aksi Pembebasan Nasional (Brazil), Tentara Pembebasan Nasional/ELN (Kolombia), dan Front Sandinista untuk Pembebasan Nasional/FSLN (Nikaragua).
Sementara kondisi internal Gereja yang mengalami perubahan, diantaranya perkembangan aliran teologis baru pasca Perang Dunia II, perkembangan bentuk baru ajaran sosial Kristen (romo kaum buruh, dll), terbukanya Gereja terhadap kajian filsafat dan ilmu sosial modern, sampai adanya Konsili Vatikan II (1962-1965) serta Konferensi Medellin (1968) di Kolombia semakin membuat Gereja “tidak berdaya” terhadap suatu kewajiban untuk berpihak kepada korban penindasan dan ketidakadilan.
Walaupun mendapat tekanan keras dari beberapa kalangan internal Gereja, namun upaya Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves Carlos Mesters, Hugo Assmann, Leonardo Boff, Frei Betto (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Juan Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay), dan ratusan ribu rohaniwan lain beserta umat Katolik lainnya tak kunjung padam. Mereka terus berusaha membangun apa yang mereka istilahkan “Gereja Orang Miskin”, yakni suatu kondisi dimana Gereja Katolik berpihak pada orang miskin dan tertindas, bukan sebaliknya menghamba kepada penguasa.
Bahkan terbunuhnya Romo Camillo Torres dan Romo Gaspar Garcia Laviana dalam perang gerilya di Kolombia dan Nikaragua, diperkosa dan dibunuhnya suster tarekat Mayknoll, hingga tertembaknya Mgr. Oscar Romero karena khotbahnya yang mengutuk penguasa militer serta menyerukan pembangkangan bagi tentara El Salvador ternyata tidak menyurutkan semangat mereka yang berniat menafsirkan ulang iman Kristiani sekaligus mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sedikit cerita diatas, tidak dapat disangkal lagi bahwa telah tiba saatnya kini kita sebagai mahasiswa Katolik Indonesia turut serta ambil bagian secara aktif guna mewujudkan perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Semangat Teologi Pembebasan di Amerika Latin kiranya dapat membantu kita untuk terus memelihara rasa keberpihakan kita pada kaum lemah, miskin, tertindas yang disingkirkan oleh tatanan sosial, ekonomi, politik yang tidak adil. Ilmu pengetahuan yang kita miliki haruslah kita abdikan guna mewujudkan kesejahteraan untuk masyarakat luas. Seperti halnya Yesus yang juga berjuang melawan berbagai penindasan yang terjadi di zamannya, kiranya semangat itulah yang mendasari langkah kita bersama mewujudkan iman Kristiani yang benar-benar nyata dan relevan dengan situasi sekarang.
Strategi atau metode yang kita pilih tentu haruslah didasarkan pada kondisi masyarakat saat ini. Yang penting adalah persatuan dan kebersamaan yang selalu harus kita jaga dan dikembangkan, karena hal itu akan semakin memperkuat setiap usaha yang kita lakukan.
Gustavo Gutierrez (1973) mengartikan pembebasan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik; pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia; pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sehingga Gutierrez merumuskan Teologi Pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda. Sedangkan Leonardo Boff (1974) menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindas ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup politik, ekonomi dan kulturalnya (http: //lulukpr.multiply.com/)
Pemahaman iman Kristini memang penting, namun itu semua belum cukup. Bagaimana iman Kristiani yang kita yakini mampu mendasari usaha kita dalam mendorong terjadinya perubahan sosial tak kalah pentingnya. Kondisi Amerika Latin pada masa Teologi Pembebasan tak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Saat inilah iman Kristiani kita tengah diuji. Mampukah kita, sebagai mahasiswa Katolik, bersama dengan kelompok masyarakat tertindas lainnya mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini?. Bukankah hal tersebut adalah cita-cita kita semua?.
Beberapa kelompok umat Katolik telah berusaha mewujudkannya. Pun halnya dengan Rm. Y. B. Mangunwijaya dengan keterlibatannya dalam berbagai persoalan sosial. Sampai kapan mahasiswa Katolik, baik secara individu maupun kelompok, terus berdiam diri sementara tuntutan akan perubahan kian bergema? Salam Damai dalam Kasih Yesus Kristus. Berkah Dalem. (Agustinus Ariawan).